Archive for April, 2009

Hibridisasi Bukan Sebuah Tema

Hibridisasi Bukan Sebuah Tema

Adanya sebuah tema yang mengikat karya-karya dalam sebuah pameran adalah cara mengusir kehambaran. Tapi tema saja ternyata tidak cukup. Pameran pembukaan Galeri NAS, 17 April-3 Mei, salah satu contoh.

Hibridisasi, kata inilah yang mengikat sekitar 40 karya dari 24 senirupa­wan yang dipamerkan di Gale­ri North Art Space (NAS), Ta­man Impian Jaya Ancol. Wujudnya adalah karya yang dengan nada ringan orang menyebut sebagai ”kar­ya seni rupa kontemporer”. Rifky Effendy, kurator pameran ini, di tulisannya tentang ”Hybridization” menyebut karyakarya yang dipilihnya ini mewakili semangat postmodernism.

Itulah karya seni rupa video, instalasi, dan lukisan yang dianggap sudah melampaui seni rupa modern. Ada tumpukan balok dengan ujung sebagaimana batang korek api. Judulnya, Sang Pewarta. Memang, batangbatang korek api itu seolah muncul dari sebuah mesin ketik (dari kayu) yang tergeletak di pinggir tumpukan. Ada batu apung (atau seperti batu apung) digantung dengan senar, tersusun acak. Inilah Endless IV karya instalasi Yani Mariani.

Ada pula gambar hasil cetak di­gital, sesosok dalam sajian yang pudar di latar belakang, dan seekor kupukupu di latar depan yang menjadi fokus. Kupukupu disate oleh sebatang jarum. Memory of Pain 2, karya F.X. Harsono. Ada lukisan akrilik yang tampak seperti hasil jepretan kamera foto, sebuah tikungan jalan dalam suasana malam dengan lampu terlihat bagaikan kunangkunang di ujungujung gedung. Don’t Forget Me, lukisan Andy Dewantoro. Dan banyak lagi, misalnya barisan tengkorak binatang yang diatur sedemikian rupa seperti berbaris menuju ke sesuatu entah apa: tujuan itu disugestikan berada di belakang tembok, yang akan ditembus oleh tengkoraktengkorak itu. Ada mobil Heri Dono, ada bayibayi Harris Purnomo, ada lukisan yang ­realistis fotografis kaleng minuman Pocari Sweat yang seperti habis diremat sebuah tangan nan kukuh. Bisa dikatakan, satu per satu karya mencapai nilai di atas standar. Katakanlah, inilah karyakarya pilihan termasuk karya seni rupa videonya.

Yang kemudian terasa mengganjal dalam pameran pembukaan Galeri NAS ini, mengapa karya bermutu itu kurang memberikan kesan ”kebersamaan” walau sudah diikat dengan kata hybridization.

Bukan sesuatu yang istimewa bahwa sebuah pameran, bersama maupun tunggal, menyajikan sejumlah karya yang diikat oleh satu konsep atau ide atau tema. Memang, dalam zaman yang disebut postmodernism hal pameran satu tema adalah kecenderungan. Hou Hanru, kritikus dan kurator berdarah Cina yang tinggal di Eropa, pernah menyatakan soal satu tema ini. Kata dia, seolaholah tanpa satu tema sebuah pameran seni rupa menjadi hambar.

Pameran Hybridization, menurut saya, justru menyajikan sesuatu yang hambar meski sudah dengan satu tema. Pengunjung bisa mengagumi satu per satu karya, namun beranjak dari Galeri NAS, Ancol, ini tak terbawa sebuah kesan tentang pameran ini. Ikatan hybri­dization itu tak terasa mengikat.

Bisa jadi pemilihan temanyalah yang membuat ikatan itu melonggar. Penye­leksian senirupawan sudah dengan sendirinya mencerminkan hibridisasi itu. Ke24 nama bisa dikatakan adalah senirupawan yang disadari atau tidak menempuh lajur yang oleh Rifky, kuratornya, disebut postmodernism. Dan salah satu unsur postmodernism ini pun telah diuraikan secara baik pada catatan kuratorial. ”Posmodernisme merupakan gejala budaya ketika segala bentuk seni dan budaya berbaur dan bercampur, hingga pemikiran lokal dan tradisional terakomodasi lewat ungkapanungkapan seni,” tulis Rifky.

Dengan kalimat lain, sebenarnya hibridisasi kurang pas diambil untuk mengikat berbagai karya dalam pameran ini. Kata itu terlalu luas maknanya untuk sebuah tema, hingga dalam bayangan saya, karya mana pun bisa masuk dalam tema ini. Hou Hanru saya kira tidak keliru, bahwa tanpa tema tertentu sebuah pameran terasa hambar. Tapi tidak selalu pameran yang diselenggarakan dan dimaui sejak awal bersatu tema dengan sendirinya mengusir kehambaran itu, bila tema itu terlalu luas hingga malah seperti tanpa tema.

Dalam hal pameran Hybridization ini, tampaknya perlu diambil sebuah fokus, hingga tema atau konsep pameran bisa lebih tajam, dan karena itu memberikan kesan.

Tapi tidakkah sebuah pameran juga tergantung cara menyajikan karya? Saya kira begitu. Ketika sebuah karya dibawa dari tempat kerja senimannya atau dinding seorang kolektor, karya itu akan dipasang di suatu suasana berbeda. Karya itu akan berada di antara karyakarya lain, dalam ruang yang lain. Peluang ini bisa menjadi ”tema”. Seorang kurator lalu bisa mengatur karya sedemikian rupa hingga karya itu memancarkan secara imajinatif sesuatu yang tidak ditemukan ketika karya itu masih di sanggar senimannya atau di dinding rumah kolektornya. Saya merasa bahwa sekitar 40 karya di Galeri NAS ini bisa diatur sedemikian rupa sehingga pameran tak terasa hambar. Bukan saja keunikan setiap karya bisa menjadi lebih menonjol, pengunjung yang memasuki ruang pameran dan berjalan berkeliling akan ”mendengarkan” sebuah suguhan yang terbentuk dari kesan masingmasing karya.

Betapapun, dilihat dari sisi sejarah Galeri Pasar Seni Ancol (demikianlah nama galeri ini pada mulanya, yang diresmikan pada paruh kedua 1970an), ini sebuah upaya menyemarakkan dunia seni rupa di Jakarta. Galeri ini, bersama dengan beberapa tempat berpameran (sebut saja Bentara Budaya, Galeri Salihara, Galeri Nasional Indonesia, Taman Ismail Marzuki) berpe­luang untuk menyajikan pameran yang tidak sekadar—atau malah sama sekali tidak—berkaitan dengan pasar. Atau kalau pasar menjadi tema pameran, pasar di situ adalah ide untuk dimasalahkan, bukan tujuan.

Saya kira prasarana yang membuka peluang pameran seperti itu diperlukan untuk mengimbangi pameran di galeri komersial dan hirukpikuk balai lelang. Tak berarti pameran di galeri komersial tidak penting. Semua diperlukan untuk sebuah kehidupan di dunia seni rupa yang baik. Kota perlu prasarana yang komplet, karena pengalaman Affandi di Bienal Venesia 1954 seharusnya menjadi catatan kita. Affandi merasa kalah oleh karya yang terpilih sebagai karya yang dianggap berhak mendapat hadiah utama hanya karena ia tumbuh di dunia seni rupa yang prasarananya belum lengkap: belum ada galeri, kritikus, kolektor yang cukup. Ia tak punya pembela untuk mengimbangi pendapat Herbert Read, kritikus yang sangat berpengaruh waktu itu, bahwa karyanya tidak ”baru” betapapun uniknya, karena ekspresionisme sudah lama ada di Eropa. Affandi juga merasa kurang punya wawasan seni rupa dunia karena tak mudah kala itu di Indonesia untuk mendapatkan informasi tentang seni rupa di negaranegara lain.

Tapi ini bukan suatu undangan untuk menumbuhkan senirupawan yang bisa melahirkan karya yang bakal mendapat ”hadiah utama” dalam sebuah bienal internasional. Yang layak dicatat dari Affandi itu adalah betapa perlunya prasarana seni rupa dibentuk. Kita mudah melupakan karya para senirupawan pada 1970an, misalnya (baru sekitar 40 tahun), seolaholah karya itu tak begitu berarti. Dan ini tecermin di balai lelang, betapa karya baru memperoleh penawaran tinggi, sedangkan karya lama—termasuk karya dari mereka yang dianggap maestro—seperti tak ada harganya.

Memang, sejarah dan nilai tak terbentuk di balai lelang. Tapi sebuah penghargaan yang proporsional pada karya dahulu maupun sekarang tampaknya terasa lebih sehat untuk sebuah dunia seni rupa kita, yang kini diharapkan menjadi bagian dari industri kreatif. Dari sudut pandang ini, sudah selayaknya pameran di Galeri North Art Space bisa menjadi salah satu acuan perkembangan seni rupa kita.

Bambang Bujono

(diunduh dari http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/04/27/SR/mbm.20090427.SR130127.id.html)

Leave a comment

Wajah Kita pada Besi Tua

Pameran patung
Wajah Kita pada Besi Tua

Minggu, 26 April 2009 | 04:20 WIB

Ilham khoiri

Perupa Teguh Ostenrik (59) berpameran tunggal dengan tajuk ”deFacement” di Gedung Arsip Nasional, Jakarta, 25-29 April ini. Bermodal bahan besi tua, dia mengutak-atik beragam ekspresi wajah manusia. Apa menariknya?

Ada sebuah patung unik berdiri di halaman tengah Gedung Arsip Nasional. Karya itu berupa potongan pipa besi panjang yang melengkung pada bagian atas dengan ujung ditancapi ratusan kawat besi yang semrawut. Di bawah kawat-kawat itu ada tempelan gir, potongan besi kecil, dan lubang menganga.

Sekilas, benda ini tak ubahnya besi bekas dari tempat pembuangan barang rongsokan. Namun, saat dicermati lagi, lama-lama bentuk-bentuk itu mengingatkan kita pada sesuatu yang akrab. Gerombolan kawat itu mirip rambut riap-riap seorang perempuan; lubang menyerupai mulut; dan tempelan gir serta potongan besi mungil itu bak dua mata yang melotot.

Dengan melongok judul ”Belon Disasak”, kita segera tertuntun untuk membayangkan kepala perempuan berambut awut-awutan. Wajahnya memberengut.

Patung lain, berjudul ”Seribu Wajah”, mirip perisai besar yang disusun dari sambungan puluhan potongan besi persegi panjang. Jika diperhatikan lama-lama, ternyata rakitan, kerutan, sambungan, atau tempelan potongan besi itu mirip berbagai ekspresi wajah. Ada wajah murung, gembira, melongo, atau dingin-dingin saja.

Ada 53 patung karya Teguh yang ditampilkan di Gedung Arsip Nasional. Sejumlah karya dipasang di atas hamparan lapangan berumput di halaman tengah, sebagian lagi ditata di ruang pameran lantai satu dan dua. Semua karya tiga dimensi itu dibuat dari bahan besi bekas. Disertakan juga 19 lukisan.

Aneh-aneh

Sebagaimana dua patung tadi, puluhan patung lain juga memperlihatkan berbagai raut wajah dari rakitan potongan-potongan besi tua. Ada wajah orang kedinginan, mulut makan kentang, lidah menjulur, orang tersenyum, pipi menggelembung, wajah bulat-rembulan, atau perempuan dengan jilbab terlepas. Itulah gambaran beragam raut muka manusia yang suka aneh-aneh.

Ekspresi tersebut semakin unik karena muncul timbul-tenggelam di antara kilasan citraan dan ingatan. Tak ada bentuk pasti. Yang hadir adalah kilasan rupa hasil rakitan besi yang menyerupai hidung, mata, telinga, atau mulut. Pada momen tertentu, kilasan itu lebih dramatis, tak terduga, bahkan kuat menyentil absurditas mimik wajah manusia.

”Saya tidak menggambar anatomi, tetapi mendekatkan rupa pada emosi wajah manusia dalam momen-momen situasional,” kata Teguh. Dia memang tidak mengejar representasi (penghadiran kembali), tetapi reinterpretasi (penafsiran ulang) atas wajah manusia.

Kurator pameran, Wicaksono Adi, menilai, lapisan-lapisan ekspresi wajah dalam patung itu membuka ruang bagi kita untuk keluar-masuk dan terus bergerak bebas. Kadang, kita merasa akrab dengan wajah itu, tetapi lain kali terasing. Patung-patung ini mewakili momen-momen personal dan impersonal manusia saat melihat keunikan ekspresi wajah yang menampakkan sesuatu yang tersurat sekaligus menyimpan yang tersirat.

Secara teknis, patung-patung itu mengembalikan kekuatan rupa pada sifat besi bekas. Itu berbeda dengan konvensi patung yang biasa melebur bahan menjadi sesuatu yang sama sekali baru. Teguh tidak berkarya dengan dituntun satu konstruksi di kepala, melainkan lebih mengalir mengikuti naluri bahan.

”Dengan pendekatan itu, dia bekerja lebih bebas, tidak dibatasi oleh tema tertentu,” kata Adi.

Sejak 1976

Teguh tertarik pada persoalan visual wajah sejak tahun 1976. Saat kuliah di Fine Art, Hochschule der Künste, Jerman, dia sering bepergian dengan naik kereta bawah tanah. Ketika duduk di kursi kereta, dia selalu menghadapi banyak wajah tak dikenal, yang kerap terasa begitu asing dan menyimpan misteri.

Saat bersamaan, dia mengunjungi museum etnologi yang menggelar topeng atau gambar potret dari suku Maya dan Astek. Topeng-topeng itu tidak anatomis, tetapi dibuat dengan sangat cerdas. Hanya dengan dua-tiga garis saja, topeng itu mampu mengungkapkan ekspresi wajah dengan sangat kuat.

Teguh pun terdorong untuk bereksperimen dengan visual wajah. Dia mengolah wajah dengan tanah liat, kayu, perunggu, dan belakangan dengan besi. Lukisan-lukisannya pun banyak merekam ekspresi wajah yang terpendam di balik sapuan warna-warni cat.

”Ekspresi wajah manusia penuh teka-teki, kadang hanya jadi topeng untuk menutupi jiwanya yang lain,” kata Teguh.

(diunduh dari http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/04/26/04205413/wajah.kita.pada.besi.tua)

Leave a comment

Membaca Elegi Artistik Nashar

Seni Rupa
Membaca Elegi Artistik Nashar

Minggu, 26 April 2009 | 04:37 WIB

Bre Redana

Bahwa hidup pelukis Nashar (1928-1994) terapung dalam khaos dan penderitaan, banyak orang tahu. Hanya saja kenapa telaah terhadap perupa kelahiran Pariaman, Sumatera Barat, itu selalu menggunakan referensi Romantisisme—satu periode dalam telaah filsafat, di seputar akhir abad ke-18.

Kalau menyimak karya-karya Nashar sambil mengenang kembali kehidupan perupa itu, akan merasa bahwa betapa unik beberapa simpul dalam perkembangan seni rupa Indonesia. Salah satu simpul sangat menarik tak pelak adalah Nashar.

Melihat puluhan karyanya dipajang di Galeri Nasional, 16-24 April lalu, betapa tetap menyentaknya Nashar. Irama warna dalam konfigurasi bentuk-bentuk abstrak itu telah melampaui riwayat perupanya, memberi jejak yang terus mengusik untuk dibicarakan, mengenai seni rupa modern Indonesia.

Tajuk pameran ini sangat tepat: ”Elegi Artistik Karya Nashar”. Pameran diselenggarakan oleh Asosiasi Pencinta Seni Indonesia (ASPI), dengan pemrakarsa Hendro Tan, kolektor yang menyimpan banyak karya Nashar. Pameran ini, oleh Hendro, selain kepada masyarakat juga didedikasikan kepada istrinya almarhum, Emmy Christina, yang mencintai karya-karya Nashar. Bersamaan dengan pameran itu, diterbitkan buku luks setebal 329 halaman berjudul Elegi Artistik tentang Nashar dan Lukisan-lukisannya, dengan editor Agus Dermawan T. Buku itu menampilkan (kembali) tulisan-tulisan yang pernah terbit di sejumlah media dari para penulis, untuk menyebut beberapa nama saja, Goenawan Mohamad, Putu Wijaya, Maruli Tobing, Ray Rizal, Efix Mulyadi, dan Bambang Bujono.

Tak tergadai

Elegi artistik langsung terasa, begitu masuk gedung, disapa misalnya oleh karya berjudul ”Taman” (1985), dari cat akrilik. Alangkah memikatnya warna dominan hijau berikut nuansanya yang disodorkan di situ. Warna dan alunan bentuk berupa garis, lengkungan, maupun blok terasa begitu liris, serta menyimpan citarasa modern.

Penggambaran atas satu karya itu—untuk tulisan sependek ini—marilah dianggap mewakili karya-karya Nashar yang lain. Semua karya Nashar tidak ada yang ”tidak bunyi”. Dijembreng dalam pameran seperti itu, yang terasa adalah karya-karya tersebut lahir dari jiwa yang terus mengalun, tak pernah henti berada dalam percumbuan dengan krida estetik. Kalau cat adalah sosok perempuan dan Nashar memanglah lelaki, maka kanvas adalah ranjang dari percumbuan estetik tadi.

Sampai di sini, kalau kita meloncat ke buku yang diterbitkan, Elegi Artistik, betapa terasa masih kurang memadainya sebetulnya studi-studi mengenai Nashar. Seperti disebutkan tadi, tulisan-tulisan dalam buku ini adalah tulisan yang pernah dibuat oleh wartawan maupun pengamat seni yang pernah dipublikasikan media massa sebelumnya.

Potongan-potongan kehidupan keseharian Nashar bisa Anda baca di situ. Misalnya mengenai Nashar yang bertubuh ringkih, hidup dalam deraan kemiskinan. Sehari-hari tidur menggelesot di Balai Budaya (Jalan Theresia, Menteng, Jakarta), bangun kesiangan, duduk mencangkung di depan Balai Budaya, barangkali melihat salah satu anaknya jadi tukang parkir di seputar situ.

Lalu latar belakangnya sendiri, yang sebagian ia tuturkan dalam Surat-surat Malam, yang memperlihatkan prinsip-prinsip berkeseniannya yang kokoh, tak tergadai oleh kepentingan-kepentingan di luar prinsip estetik, apalagi pasar. Dari berbagai keping catatan mengenai Nashar akan terbaca mengenai ayahnya yang otoriter, ibu yang di kemudian hari bak penderita kelainan jiwa, dan seterusnya.

Pembacaan dekat

Dengan latar belakang kehidupannya sendiri, rasanya memang paling mudah menghubungkan Nashar dengan referensi-referensi di seputar Romantisisme—sebuah risalah yang merayakan berkuasanya impuls di atas keteraturan alias order. ”Manusia terlahir bebas, tapi di sana-sini terantai” kata Rousseau yang menjadi dasar pembebasan manusia.

Akan tetapi, cukupkah memahami Nashar semata-mata dengan suatu narasi besar, katakanlah Romantisisme? Tidakkah diperlukan close reading, pembacaan amat dekat, bagaimana karya-karya Nashar yang oleh Darga Gallery dulu pernah disandingkan dengan karya pelukis surealis Spanyol, Joan Miro, bisa lahir di bumi sini? Belakangan ini, banyak sudah kekurangpuasan terhadap pembacaan melalui narasi-narasi besar.

Studi mengenai Nashar masih menganga lebar, kalau mengingat, bahkan di buku itu, secara lugu disebutkan, nama ayah dan ibunda Nashar saja tak diketahui. Dengan lebih bekerja keras lagi, studi mengenai Nashar akan memberi makna besar bagi pemahaman atas seni rupa modern Indonesia. Oleh karena itu, kita tunggu buku berikutnya.

(diunduh dari http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/04/26/04372071/membaca.elegi.artistik.nashar)

Leave a comment

Menghidupkan Ancol

Kantong seni
Menghidupkan Ancol

Minggu, 19 April 2009 | 02:48 WIB

Pasar Seni Ancol, Jakarta Utara, kembali memberdayakan diri lewat pembukaan North Art Space. Galeri seni rupa hasil perombakan dari Galeri Pasar Seni Ancol lama itu diresmikan Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo, Jumat (17/4) malam. Ruang pameran itu diharapkan mengangkat citra Ancol sebagai kantong seni budaya sekaligus memajukan seni rupa kontemporer Indonesia.

Peresmian dibuka dengan menggelar pameran bertajuk ”Hybridization”, 17 April-3 Mei 2009. Acara berjalan cukup meriah. Selain dihadiri beberapa pejabat Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, pimpinan PT Pembangunan Jaya Ancol, serta pengurus Pasar Seni Ancol, tampak juga sejumlah seniman, kolektor, pengelola galeri, dan masyarakat pemerhati seni rupa.

Pada katalog pameran, Fauzi Bowo berharap pengembangan North Art Space bisa ikut mendorong Kota Jakarta sebagai kota budaya sekaligus menumbuhkan semangat ekonomi kreatif. Direktur PT Pembangunan Jaya Ancol Budi Karya Sumadi mengungkapkan, sesuai program Ancol Creative City, kawasan itu dikembangkan sebagai panggung bagi komunitas kreatif, termasuk kalangan seni rupa.

Selain galeri, pengembang Ancol juga berencana membangun studio bagi seniman. Di situ, seniman bisa leluasa berkarya, bahkan menyajikan karyanya di sudut-sudut kawasan Ancol yang dikembangkan sejak awal tahun 1970-an itu. ”Karya seni, seniman, dan publik bisa berinteraksi di sini. Bayangkan saja, Ancol itu dikunjungi sekitar 40.000 orang per hari pada akhir pekan,” kata Budi.

Sebagai langkah awal, bekerja sama dengan Galeri Semarang, pengembang memugar dua lantai galeri lama menjadi galeri baru bernuansa kontemporer. Fasad dirombak menjadi sedikit bergaya minimalis dengan dinding kaca; ruang pamer dibersihkan dan dibuat lebih terbuka; serta dibangun dua tangga berlapis kayu di bagian tengah. Nama galeri baru itu North Art Space alias NAS

”Galeri baru ini lebih terbuka bagi semua karya, termasuk karya-karya kontemporer. Ini hanya langkah awal untuk menjadikan Ancol sebagai salah satu kantong seni rupa di Jakarta,” kata Chris Dharmawan, pemilik Galeri Semarang.

Pada tahapan berikutnya, pengembang Ancol berencana membangun studio tempat seniman berkarya sekaligus melakukan semacam residensi di Jakarta. Pasar Seni akan dipugar dan ditingkatkan lagi sehingga menjadi lebih maju. ”Ancol punya potensi karena punya areal masih luas, mudah dijangkau warga Jakarta, dan dikunjungi banyak wisatawan,” kata Chris.

Memang, jika saja pemerintah memihak pengembangan seni rupa secara konsisten, kawasan Ancol berpotensi dikembangkan menjadi semacam kantong seni rupa baru. Selain punya galeri, kantong itu dimanfaatkan untuk membuat studio seniman dan pasar seni. Itu akan bisa menjembatani kepentingan seniman, pasar, akademisi, sekaligus masyarakat.

”Art district”

Sebagai bandingan, mungkin kita bisa menyebut 798 Art District di Ta Sen Tse, Beijing, yang dinilai turut mendongkrak pasar seni rupa China beberapa tahun belakangan. Kawasan bekas pabrik instalasi telekomunikasi militer yang berjarak sekitar 15 kilometer dari pusat kota Beijing itu ditempati ratusan galeri dan studio seniman. Para seniman, kolektor, pengamat, dan masyarakat umum mendatangi kawasan itu untuk berinteraksi dengan sebagian karya seni rupa kontemporer.

”Kita mungkin saja membangun Ancol jadi semacam art district jika semua kalangan, seperti seniman, pengusaha, galeri, dan pemerintah berkomitmen memajukan seni rupa di Indonesia,” kata Teguh Ostenrik, pelukis dan pematung, yang hadir di Ancol malam itu.

Jikalau tidak mencapai tahap seperti itu, setidaknya Ancol masih mungkin untuk mengembalikan dirinya sebagai kantong tempat kongko para seniman. Manajer Pasar Seni Ancol Bogang Suharno mengenang, Ancol sempat jadi rujukan para seniman pertengahan tahun 1970-an sampai 1980-an. Di situ, aktif beberapa seniman, antara lain Amrus Natalsya, Endros Sungkowo, Kidro, atau Dwijo.

Selain pelukis dan pematung, banyak seniman lain langganan datang, seperti Umar Kayam, Emha Ainun Nadjib, dan Ireng Maulana. Beberapa penyanyi cilik yang sekarang populer juga mencicipi kemeriahan pengunjung di situ, seperti Anggun C Sasmi dan Novia Kolopaking. ”Saat itu, Ancol menjadi salah satu pusat komunitas seni dan budaya di Jakarta,” katanya.

Hibrida

Bagaimana dengan pameran ”Hybridization”? Ada 24 seniman Indonesia yang turut serta, antara lain Agus Suwage, Andy Dewantara, FX Harsono, Hanafi, Harris Purnomo, Jompet, dan Yani Mariani. Sebagian karya sudah pernah dipamerkan dan sejumlah karya termasuk baru.

Sesuai tema, karya dengan beragam bentuk dan media itu memperlihatkan pertemuan dan percampuran dari berbagai unsur budaya yang berkembang di Tanah Air. ”Hibridisasi itu membebaskan kita dari dogma-dogma sejarah seni rupa Barat dan menyerap sejarah seni rupa Indonesia. Itu membuka kemungkinan praktik seni yang melibatkan aspek-aspek kehidupan sosial dan budaya lokal,” kata kurator pameran Rifky Effendy. (ilham khoiri)

(diunduh dari http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/04/19/02484884/menghidupkan.ancol)

Leave a comment

Batang Korek Api yang Terbakar

pameran
Batang Korek Api yang Terbakar

Minggu, 5 April 2009 | 02:50 WIB

Adakah hubungan antara batang korek api dan manusia? Ada. Ketika dibakar, setiap batang kayu kecil itu meninggalkan jejak hangus yang berbeda. Itu mirip proses identifikasi manusia, di mana setiap pribadi adalah sosok yang unik. Ilham Khoiri

Yuli Prayitno (35), pematung lulusan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, menempatkan korek api sebagai gambaran karakter manusia. Dia membuat bermacam obyek seni dengan idiom batang korek api terbakar. Hasilnya, digelar dalam pameran tunggalnya, ”I Love…” di Nadi Gallery, Jakarta, 1-13 April 2009.

Dari total 24 karya yang dipajang, sebagian memang memanfaatkan batang korek api. Kadang potongan kayu kecil dibiarkan utuh, lain kali ditempelkan, dibakar, dibuat jadi kaki kursi, jadi tangkringan burung, atau dijadikan kepala manusia. Setiap perlakuan melahirkan karya berlainan.

Tengok saja karya berjudul ”Burn My Heart”. Sebuah resin berbentuk hati ditempeli ribuan batang korek api. Pada bagian bawah hingga tengah, batang itu masih utuh. Pada bagian atas, batang itu telah terbakar-menghitam.

Obyek berjudul ”I Can’t Get Now Satisfaction” memanfaatkan batang korek api terbakar yang besar. Benda ini dijadikan salah satu kaki kursi yang memanjang.

Pada karya ”Space Race”, batang korek itu dijadikan kepala boneka manusia yang tertempel di atas guratan peta berbentuk hati di atas kayu. Karya ”Shock!” menggunakan batang itu jadi tempat tangkringan burung yang becermin pada bidang bundar dari stainless steel. Karya ”Dump Drop” berupa keran air juga menggunakan batang korek api alat pemutar keran.

Ada apa dengan batang korek api sampai-sampai Yuli begitu getol mengeksplorasinya? Seniman ini mengaku suka mengamati benda itu sejak kecil karena mirip proses identifikasi manusia. ”Saat dibakar, batang itu menghangus dan menjadi benda baru dengan bentuk dan warna berbeda-beda. Begitu pula manusia yang anatominya serupa, tetapi setiap individu punya karakter unik,” katanya.

Lalu, apa yang hendak disampaikan lewat batang korek api? Batang yang dipelintir jadi benda lain, katanya, diharapkan bisa menciptakan kejutan visual yang memancing perhatian. ”Setelah itu, orang bebas masuk dan menangkap tafsir apa saja. Bisa soal kefanaan, pluralitas, kerapuhan cinta, atau perbedaan antara harapan dan kenyataan.”

Yuli juga menggulati benda keseharian lain, seperti telinga (dari silikon), cabe (dari kasur kapuk), atau boneka tentara (yang dilelehkan membentuk gumpalan hati). Semua itu menyodorkan obyek-obyek yang merangsang penasaran. Tajuk ”I Love…” justru menggambarkan kegandrungan Yuli kepada benda-benda itu, bukan menggagas tema cinta umum.

Bricoleur

Di luar kejutan visual, karya-karya Yuli jelas mengesankan keterampilan mengutak-atik berbagai material dan benda dengan teknik dan ketelitian tinggi. Dia bisa merakit benda temuan, seperti kursi, keran air, batang kayu bekas rel kereta, lampu, kusen, atau boneka plastik, atau berbagai bahan (kayu, resin, stainless steel, karet, aluminium, atau perak). Hasilnya, benda baru yang segar.

Menurut kurator pameran, Enin Supriyanto, Yuli adalah seorang bricoleur: seniman yang lihai merancang, merakit, dan menyusun sesuatu yang ”lain” dari segala benda yang ada. Benda dan bahan sehari-hari itu diselewengkan menjadi obyek yang sama sekali lain. Pendekatan ini membongkar batas konvensi patung yang identik dengan karya monumental dari logam solid.

”Karya Yuli menunjukkan betapa luasnya kemungkinan yang bisa digulati seniman. Setiap kali dibangun batasan, setiap kali itu pula batasan itu mungkin didobrak,” katanya.

Pemanfaatan benda keseharian itu menarik karena memperlihatkan usaha membajak barang komoditas untuk dimainkan atau dimasuki makna pribadi. Mungkin itulah langkah subversif seniman untuk membebaskan diri dari kungkungan narasi besar konsumerisme yang dirancang kapitalisme.

Pada titik ini, perlakuan Yuli pada benda mengingatkan kita kepada beberapa seniman lain. Sebut saja, Faisal Habibi yang suka memelesetkan kursi, Wiyoga Muhardanto yang menyelewengkan komoditas menjadi mainan, atau Handiwirman Saputra yang mengulik narasi kecil dari benda remeh-temeh. Dengan bahasa visual masing-masing, para seniman muda itu memperluas praktik dan wacana seni rupa di Tanah Air.

(diunduh http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/04/05/02501159/batang.korek.api.yang.terbakar)

Leave a comment