Archive for March, 2009

Wayang dalam Imajinasi Eko

Perupa Eko Nugroho mengadopsi teknik wayang untuk menguatkan karakter imajinatif karyanya. Ia mencoba memasukkan unsur interaktif.

Sekeping uang logam Rp 500 dimasukkan ke dalam lubang pipih kotak putih kecil—jegleng. Musik khas arena permainan di pasar malam pun terdengar seiring dengan berputarnya wahana berbentuk silinder mirip permainan komidi putar.

Kain warna-warni bagaikan tenda arena pertunjukan sirkus menutupi bagian atas wahana itu. Tapi tak ada anak-anak dengan teriakan kesenangan duduk di atas bentuk kuda. Yang ada adalah bayangan dari citraan sosok figur lelaki bertangan gergaji dan gunting bak sedang mengejar citraan mobil sport merah menyala. Di depan citraan mobil itu ada figur lelaki bertelanjang dada dalam warna kuning dengan kepala berbentuk mirip sesisir pisang atau sesuatu yang tumbuh.

Eko Nugroho, pencipta karya seni instalasi itu, bersama konsultan tekniknya, Ignatius Sugiarto, merancang koin Rp 500 yang hanya cukup untuk memutar wahana bertenaga penggerak motor listrik tersebut selama satu menit. Eko memberi judul karyanya Selalu Saja Menyenangkan di Negeri Ini, satu dari sembilan karya yang dipamerkan di Rumah Seni Cemeti, Yogyakarta, 17 Maret-18 April. ”Konsep visualisasi untuk pameran ini bersumber dari gagasan tentang pasar malam,” tulis Alia Swastika dalam konsep kuratorialnya.

Tapi kegembiraan yang muncul berbeda dengan sensasi melayang yang dialami anak-anak saat mereka berputar menunggang kuda-kudaan pada wahana komidi putar. Pada karya instalasi itu kegembiraan justru timbul ketika citraan figur manusia dengan organ tubuh imajinatif tadi muncul dalam kualitas rupa sebagaimana aslinya. Seperti dalam pertunjukan wayang kulit, deretan figur imajinatif ini berada di balik kain putih tipis yang membungkus bentuk silinder komidi putar itu.

Berbeda dengan citraan wayang dalam pertunjukan wayang kulit yang hanya dinikmati penonton berupa bayangan monokromatik figur, pada karya Eko penonton bisa sepenuhnya menikmati detail bayangan elemen rupa. Bahkan siraman cahaya dari belakang figur dengan kain putih tipis di depan menimbulkan efek lembut pada garis dan warna. Sebelumnya figur-figur imajinatif karya Eko dimainkan da-lam cerita wayang oleh dalang muda Ki Catur Kuncoro.

Eko Nugroho, 32 tahun, dikenal sebagai perupa yang biasa berekspresi dengan bentuk komik. Ia mengorganisasikan komunitas virtual yang disebut Komik Daging Tumbuh dengan menerbitkan karya komik alternatif dalam format sederhana. Eko memanfaatkan teknologi mesin fotokopi untuk menggandakan komiknya dalam jumlah terbatas. Orang yang tertarik pada karya Komik Daging Tumbuh bebas menggandakannya dengan cara yang sama.

Sebagai komik, karya Eko tidak mengikuti narasi yang tertib pakem komik konvensional. Narasi dalam karya Eko bergerak liar dengan membebaskan imajinasi sebagaimana bentuk-bentuk figur pada karyanya. Imajinasi visual Eko kebanyakan beroperasi pada citraan organ kepala. Ia mengganti atau menutupi bentuk kepala dan wajah dengan bentuk lain. Misalnya figur lelaki berkepala pisang sesisir tadi, atau figur bertangan gergaji dengan kepala yang dikurung bentuk bulat tapi ada dua wajah di dalamnya. Dua kepala itu bak menyiratkan satu tubuh dengan dua kepribadian.

Pada saat lain kepala itu berfungsi sebagai topeng yang menyembunyikan sebagian wajah. Ada yang berbentuk rekaan pesawat ruang angkasa. Ada juga yang berbentuk kotak yang hanya menampakkan mata nyalang atau terpejam.

Besarnya perhatian Eko pada bentuk kepala juga ia tunjukkan dengan perlakuan lebih pada pengolahan bentuk organ tubuh itu. Hanya bentuk kepalalah yang diberi citraan tiga dimensi dengan menekankan pada citraan unsur volume. Sedangkan citraan organ lainnya—tangan, badan, dan kaki—kebanyakan tampil flat (datar), sebagaimana penggarapan bentuk komik pada umumnya.

Bentuk figur yang datar itu memang ada kesamaan dengan teknik wayang. Bahkan kali ini Eko membuat figur-figurnya dari bahan kulit yang dipoles dengan cat akrilik pada satu sisinya untuk menjaga transparansi. Dengan teknik pencahayaan yang diatur Ignatius Sugiarto, figur-figur itu menjadi penuh warna.

Pada karya bertajuk Eat and Fight citraan deretan figur yang ditancapkan di batang pohon pisang terkesan bergerak hanya dengan menggoyang-goyangkan lampu di belakangnya. Eko menempatkan karya ini di gerobak warung angkringan, warung makanan pinggir jalan khas Yogyakarta. Tapi kehadiran gerobak itu tidak mengasosiasikan sesuatu yang berarti. Figur-figur imajinatif itu pun tenggelam dalam ukuran gerobak yang lebih besar.

Dengan mengeksplorasi pencahayaan pula Eko dan Sugiarto menonjolkan karakter figur imajinatif dengan teknik neon box pada karya bertajuk Modern Love dan Awal dan Akhir. Dua karya yang digantung di dinding ini sangat pas menjadi elemen interior, khususnya untuk ruang publik. Ada unsur kemewahan yang atraktif lewat tata cahaya, tapi ada juga kegenitan corak dekoratif pada figur perempuan berkepala kotak yang mengarahkan sepucuk pistol ke kepalanya dan citraan pohon kehidupan. Pada karya ini Eko sangat dekat dengan corak seni tradisi.

Eko memang sering memasukkan elemen dekoratif pada karya komiknya. Misalnya ia sering melakukan pengulangan bentuk sesuatu yang tumbuh pada bagian tertentu figurnya, atau membuat ornamen berupa susunan bentuk melengkung yang mencitrakan sisik ikan, atau garis-garis silang yang mengingatkan orang pada pola batik. Pola ornamen itu bisa berfungsi mengisi bentuk organ tubuh, atau menjadi bentuk imajinatif salah satu organ tubuh.

Tapi kecenderungan menghias pada karya bertajuk Let’s Fight for Nothing menghasilkan bentuk berbeda. Dua figur imajinatif penuh warna menjadi menonjol dengan latar belakang bentuk yang dibangun dari aneka ornamen, antara lain ornamen yang diambil dari bentuk kepiting. Pada karya ini Eko berusaha memasukkan unsur interaktif atau setidaknya kesan interaktif dengan melengkapi karya yang ditempel di dinding tersebut dengan joystick, perangkat permainan PlayStation.

Ketika salah satu tombol ditekan, yang muncul adalah suara musik hasil modifikasi. Sedangkan tombol lainnya menghasilkan suara manusia yang diteriakkan lewat megaphone. Di dinding, dua citraan berbentuk kepiting dan lelaki berkepala pesawat ruang angkasa dengan megaphone di tangan sedang dalam posisi seperti bertarung. Mungkin saja sebelumnya ada yang membayangkan joystick itu menggerakkan dua figur di dinding, bak dalang Ki Catur Kuncoro menggerakkan wayang karya Eko Nugroho.

Raihul Fadjri

Leave a comment

Siapa Sudi Kena Kibul?

Fotografi Caleg
Siapa Sudi Kena Kibul?
Minggu, 15 Maret 2009 | 05:51 WIB

Seno Gumira Ajidarma

Calon anggota legislatif telah ”memberi bukti” aktivisme mereka, yakni mengubah kota menjadi galeri terbuka, dengan isi pameran foto-foto wajah mereka sendiri. Dengan kata lain, haruslah mereka terima pula komentar terhadap ”karya seni” mereka tersebut meski jauh dari konteks yang mereka maksudkan sama sekali, sesuai dengan teori komunikasi mutakhir, bahwa bukan hanya komunikator, tetapi juga yang memandang foto itu sebagai penerima pesan merupakan produsen makna.

Kibul fotografi

Roland Barthes, yang mengatakan bahwa iklan merupakan usaha penciptaan mitologi baru, juga pernah melakukan perbincangan terhadap foto-foto para calon anggota legislatif di Perancis, yang tersebar dalam bentuk poster di berbagai tembok yang diizinkan untuk itu.

Sebetulnya Barthes melakukan analisis terhadap fotografi, yang tampaknya dipercaya memiliki daya untuk ngibul sehingga menarik diperiksa sebagai media representasi sebuah mitos. Disebutkannya bahwa fotografi memapankan hubungan antara para calon anggota legislatif ini dan para calon pemilih, yang menunjukkan betapa tawaran program saja tidak cukup, melainkan harus diikuti sugesti keadaan fisik: cara berpakaian, postur tubuh, tepatnya morfologi sebuah ungkapan.

Fotografi, dalam konteks foto-foto calon anggota legislatif Perancis itu, disebut antara lain seperti ingin memperbaiki sifat paternalistik dalam pemilihan umum. Fotografi merupakan pengikisan bahasa dan pemampatan atas yang tidak terkatakan secara sosial, menjadikannya senjata antiintelektual dengan semangat menyisihkan ’politik’ (sebagai lembaga problem dan solusi), untuk melaju sebagai status sosio-moral. Begitulah fotografi berada di atas segala pengetahuan atas sesuatu yang dalam dan irasional dengan ko-ekstensi dalam politik. Melalui foto, sang calon menjadi produk, contoh, dan umpan, bukan dari programnya, melainkan motifnya yang terdalam, keluarganya, mentalnya, bahkan lingkungan erotiknya, seluruh gaya hidupnya.

Demikianlah bagaimana ideologi tergambar dalam cara sang calon ingin disaksikan, yang kira-kira akan memperlihatkan kebermiripan latar sosial, kenyamanan spektakuler keluarga, norma-norma hukum dan agama, maupun xenofobia dengan calon para pemilihnya. Fotografi menjadi cermin, tempat pemandangnya diminta untuk membaca yang akrab dan diketahui; menawarkan kepada calon pemilih kebermiripannya sendiri, tetapi yang sudah diagungkan, diangkat secara luar biasa menjadi suatu gaya. Fotografi membuat sang calon menjadi delegasi dirinya sendiri, yakni para calon pemilih yang melihat dirinya terekspresikan dan terpahlawankan, terundang untuk memilih dirinya sendiri.

Maka, segenap ikonografi dalam foto-foto tersebut dimaksud untuk membermaknakan persilangan pikiran dan kehendak serta renungan dan tindakan, yang sesungguhnya menjadi pemerasan nilai-nilai moral menyangkut negara, keluarga, kehormatan, dan heroisme serampangan. Konvensi fotografi sendiri sudah penuh dengan tanda. Foto wajah yang memenuhi latar, kadang setengah sampai tiga perempat badan, menggarisbawahi tampak realistik sang calon, yang menyarankan tirani suatu cita-cita kesempurnaan. Wajah yang tersorot cahaya adialami (supernatural) mengangkatnya ke perwujudan kemanusiaan yang lebih tinggi—memapankan secara anggun kepentingan tersembunyi suatu Tatanan (Barthes: 1972, 91-3)

Esai ”Photography and Electoral Appeal” yang berasal dari kumpulan analisis kehidupan sehari-hari Perancis antara 1954-1956 dalam buku Mythologies (1957) tersebut, seperti disebutnya sendiri ditulis berdasarkan kerangka teoretis ganda; pertama, kritik ideologi atas bahasa yang disebut kebudayaan massa; kedua, usaha mengulas secara semiologis, cara kerja bahasa kebudayaan massa tersebut. Dalam hal pertama maupun kedua, Barthes telah dan selalu memberi contoh dari kehidupan budaya borjuis kecil (petit-bourgeois) Perancis yang dalam proses mistifikasi terubahkan menjadi ”universal”—dan karena itu dibongkarnya.

Membaca kepentingan tersembunyi

Dalam konteks catatan ini, contoh-contoh itu dialihkan kepada foto-foto calon anggota legislatif yang bertebaran di Indonesia, yang karena latar belakang persoalannya berbeda, tentu akan menghasilkan perbincangan berbeda pula.

Disebut tentang memapankan hubungan dengan pemilih, maka dapat diperiksa dari cara berbusana: apakah sudah sedaerah, seagama, sealiran, minimal satu selera? Di Yogya, dalam poster besar di tepi sawah, seorang calon anggota legislatif tampak mengenakan surjan dan belangkon, yang berarti jelas ia bermaksud meneguhkan ikatan dengan calon pemilih yang bersemangat kedaerahan.

Dari segala sisi memang bertebaran penanda-penanda yang menunjukkan orientasi calon anggota legislatif, tentu dengan merujuk kepada wacana dominan yang diandaikannya berada dalam kebudayaan para pemilih. Segera tampak, betapa pengandaiannya memang terwujudkan dalam bahasa umum yang dominan tersebut: cahaya (asal) terang pada wajah, senyum iklan pasta gigi, rambut rapi jali, yang secara langsung mendorong kesan keyakinan, kemandirian, keteguhan, bahkan keberanian, dan barangkali saja kepemimpinan, tetapi yang semuanya tidak bisa langsung menunjuk kepada kecerdasan maupun keanggunan.

Busana langsung mengarah kepada orientasi agama, kedaerahan, atau nasionalis. Namun tidak lebih. Semuanya busana resmi, pantas langsung dipakai kondangan, meski yang resmi termasuk juga seragam partai. Dalam hal ini, dibandingkan dengan foto-foto calon anggota legislatif Perancis, yang semuanya berhenti kepada jas dan dasi, tanpa penanda mana liberal mana komunis, foto-foto calon anggota legislatif di Indonesia jauh lebih “eksotik” (di Madura ada yang pakai destar dan kaus loreng merah putih), dan karena itu mungkin saja memberikan lebih banyak bahan perbincangan. Dari rakyat untuk rakyat. Para calon anggota legislatif, seperti tampak dalam representasi dirinya di jalanan, adalah juga produk komunitasnya. Jadi, menunjuk bangsa Indonesia juga.

Peci jelas merupakan penanda favorit sosio-moral, tetapi tidak selalu menunjuk keindonesiaan, lebih kepada aksesori kostum kedaerahan atau latar belakang keagamaan. Bolehkah calon non- Muslim mengenakan peci untuk mempertegas keindonesiaannya? Menarik juga untuk membaca kepentingan tersembunyi di balik gambar-gambar tersebut, yang apabila cara berbahasa atau sistem tandanya diperiksa, bahkan menjadi dua kali jelas: pertama, yang tersembunyi dapat dibaca; kedua, sistem tandanya menunjuk wacana dominan dalam kebudayaannya.

Wacana patriarki dan paternalistik

Di antara sejumlah kecenderungan, boleh diperhatikan betapa foto-foto para calon anggota legislatif ini kadang-kadang didampingi atau dilatarbelakangi foto orangtuanya yang heroik, atau ketua partainya. Kepentingan tersembunyinya terlalu jelas: kehebatan orangtuanya tentu menurun kepada anaknya, dan yang disebut orangtuanya ini hampir selalu bapaknya karena tidak penting benar siapa ibunya. Bahwa hanya bapak yang eksis dalam perbincangan jelas menunjuk kepada patriarki, dan bahwa potret diri mesti diiringi orangtua atau ketua partai adalah gambaran langsung dari wacana paternalistik. Menarik bahwa patriarki dan paternalisme itu memang tidak merupakan tabu, sebaliknya bahkan diteladankan, diandalkan, dan diunggulkan.

Dapat dikatakan bahwa siapa pun yang kelak memilih mereka sebetulnya merasa nyaman dan merasa berumah jiwa di dalam wacana tersebut. Wacana dominan yang dalam negosiasinya terhadap ”pluralisme” terkadang menganggap bapak sendiri atau ketua partai saja tidak cukup. Ada yang membawa-bawa Tuhan meski masih tahu diri dengan kalimat ”semoga Tuhan…”, simbol kekuasaan seperti kepala harimau (”raja rimba” ?) atau bahkan tampang David Beckham— tentu bukan Beckham sebagai pemain sepak bola yang dianggap uzur, tetapi Beckham sebagai ”bapak kesuksesan”. Perhatikan bagaimana peleburan kode spiritual, kode kekuasaan, dan kode kesuksesan (”urban”?) tercuatkan dalam tradisi purba (”primitif”?) paternalisme nan patriarkis, yang dalam suatu cara juga meliputi foto-foto perempuan calon anggota legislatif ini. Ah ya, memang ada foto perempuan ketua partai sebagai latar belakang, tetapi yang tidak mengubah wacana patriarkis sama sekali.

Betapapun, jika wacana dominan semacam itulah yang berproses dalam hegemoni kebudayaan tempat pemilihan calon anggota legislatif berlangsung, tampaknya pilihan atas kedahsyatan macam apa yang ingin ditawarkan memang terbatas. Apalagi jika wacananya, yakni himpunan gagasan dan praktik sosial budaya yang membentuknya sebagai subyek sosial, memang keberhinggaannya hanya sampai di sana sehingga ideologinya juga tidak bisa pergi ke mana-mana.

Siapa sudi kena kibul?

Kembali kepada Barthes, perbincangannya tentang fotografi dan pemilihan umum untuk memeriksa cara kerja kebudayaan sebetulnya diturunkan oleh teorinya yang sudah terlalu dikenal: bahwa dalam tiga tahap pembermaknaan, denotasi—konotasi—mitologi/ideologi, yang terakhir itu menjadi denotasi (”makna sebenarnya”) lagi, dan seterusnya. Ini berarti, meski setara dengan iklan, cara kerja bahasa foto-foto itu menunjuk suatu kenyataan juga: belum ada Malin Kundang dalam dunia politik Indonesia, yang berani melaju dengan gagasan baru tanpa restu tradisi (politik) lama.

Makanya, pembongkaran mitos dalam kampanye apa pun perlu dilakukan agar para pemilih yang tulus dan ikhlas tidak kena kibul.

Seno Gumira Ajidarma Wartawan

(diunduh dari http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/03/15/0551143/siapa.sudi.kena.kibul)

Leave a comment

The Art of Facebook

Seni rupa
The Art of Facebook

Herry Dim
Minggu, 15 Maret 2009 | 05:48 WIB

Ilham Khoiri

Barangkali kita tak perlu lagi bertungkus-lumus mendatangi galeri atau menyambangi seniman untuk sekadar melongok karya seni rupa beserta perupanya. Facebook.com, situs jejaring sosial di dunia maya yang lagi tren, cukup bisa memperantarai kebutuhan itu. Mungkinkah situs ini dimanfaatkan lebih jauh untuk mengembangkan praktik dan wacana seni rupa di Tanah Air?

Coba saja berselancar di dunia maya, dan mampir ke Facebook.com (fb). Jika telah terdaftar, kita bisa menemui para seniman yang membuka account di situ dan menjadikan mereka teman. Setelah itu, proses komunikasi dan berbagi informasi tiba-tiba seperti mem-berojol begitu terbuka dan gampang.

Di fb, kita bisa melongok-longok sedikit profil seniman, foto diri, termasuk foto karya serta berbagai komentar dan tulisan (jika disertakan). Para seniman sendiri juga bisa berbagi foto, tulisan, sekaligus berinteraksi langsung lewat obrolan (chatting). Tak hanya seniman, fasilitas itu memungkinkan semua stakeholder seni rupa berhubungan: kurator, kritikus seni, art dealer, kolektor, media, pengelola museum, dan publik.

Berbagai fasilitas fb memang telah membuka ruang mediasi baru yang demikian terbuka, demokratis, dan tanpa batas geografi, waktu, dan hierarki sosial. Siapa pun bisa masuk, terlibat, mengirim foto atau tulisan, berkomentar, atau ngobrol. Seniman bisa mempromosikan diri dan karyanya, membangun jaringan, atau menemukan berbagai akses dan informasi.

Dengan berbagai kemudahan komunikasi itu, tak heran jika fb yang diluncurkan di Amerika Serikat tahun 2004 itu disambut hangat kalangan seniman di Indonesia, terutama sejak setengah tahun belakangan. Saat ini para seniman yang terdaftar sebagai anggota fb mungkin seribuan.

Mereka tak hanya berasal dari kantong-kantong seni, seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta, atau Bali, tetapi juga dari berbagai daerah. Sebut saja, sebagai contoh, seniman Agus Suwage, Eddie Hara, Yuswantoro Adi, Herry Dim, Faisal Habibi, Radi Arwinda, Irwan Ahmett, Radi Arwinda, Jumaldi Alfi, Dipo Andy, dan Agus Baqul. Dari kalangan kurator ada Asmudjo J Irianto, Kuss Indarto, Suwarno Wisetrotomo, dan Tubagus P Svarajati. Sejumlah galeri dan pemilik galeri juga bikin account.

Citra diri

Bagaimana para seniman menampilkan citra diri dalam fb? Sebagian besar menggunakan situs itu terutama untuk memperkuat identitas diri sekaligus memperlancar komunikasi.

Faisal Habibi, misalnya, sudah bergabung dalam fb sejak satu tahun lalu. Seniman lulusan Seni Patung Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung (ITB) itu aktif ber-fb karena hampir tiap hari nongkrong di hadapan komputer yg on-line 24 jam. Kebetulan, dia bekerja sebagai desainer grafis di Galeri Soemardja, Bandung.

Dalam account-nya, Faisal menampilkan album foto karya, album penghargaan pada ajang Indonesia Art Award tahun 2008, dan berbagai informasi lain. Temannya mencapai 1.000 lebih.

”Meskipun lewat fb, saya ingin mencitrakan diri sebagai seniman serius. Saya suka dapat komentar dan masukan tak terduga dari mana-mana. Dari situ, saya juga dapat banyak info kegiatan seni,” katanya.

Berbeda dengan itu, Agus Suwage, seniman yang tinggal di Yogyakarta, memandang fb lebih sebagai sarana pertemanan ketimbang promosi. Karena itu, hanya sedikit foto karya yang disajikan. Ruang maya ini justru untuk memecah rutinitas kegiatan seni.

”Fb untuk ketemu teman lama, senang-senang atau bergosip. Kalau mengurus seni terus, kan bosan,” kata Agus.

Sikap serupa diambil Nyoman Masriadi, pelukis lulusan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta yang harga karyanya sempat melejit tinggi saat booming pasar. Dalam situs, seniman ini tidak memuat foto lukisan, tetapi menjejerkan foto diri sedang merokok di sebuah pantai yang dikopi berderet sampai 15 buah.

”Ini bukan untuk seni, tapi untuk fun dan happy saja. Ini tempat untuk ngobrol dengan teman secara lebih cepat dan bebas; tempat untuk menyegarkan diri,” katanya.

Harapan

Sebenarnya seberapa jauh kita bisa berharap pada fb untuk pengembangan seni rupa?

Menurut pengamat seni dan kurator asal Bandung, Asmudjo J Irianto, para seniman bisa saja memanfaatkan fb untuk membangun networking dan berpromosi. Dengan sifatnya yang terbuka, promosi lewat situs lebih praktis dan murah. Fb melengkapi situs virtual lain yang lebih dulu beredar, seperti website, blog, friendster, atau e-mail.

”Kenapa tidak memanfaatkan bahasa html untuk membangun karya di web? Itu sah-sah saja,” kata Asmudjo.

Eko Nugroho, seniman Yogyakarta yang aktif mengikuti kegiatan seni di luar negeri, mengaku punya website sendiri sejak tahun 2005. Dia juga aktif di friendster dan Yahoo messenger (YM). Namun, FB menawarkan fasilitas lebih terbuka dan efektif untuk berkomunikasi sekarang.

Sudah tiga bulan ini Eko mengundang dan mempromosikan proyek artshop. Dia mengajak para seniman untuk membuat berbagai merchandise yang bisa dipakai, seperti mainan, kaus, topi, asbak, atau tas. Produk yang dibuat terbatas ini menggabungkan unsur seni dan bisnis.

”Responnya bagus. Saat produk dipasarkan di toko khusus di Prawirotaman, Yogyakarta, pasarnya lumayan dan makin meningkat,” katanya.

Bagi Kuss Indarto, kurator asal Yogyakarta, fb seyogianya bisa jadi ruang mediasi luar biasa. Sebagai kurator, dia merasa situs itu jadi jalur baru untuk mencari seniman. Situs ini jelas telah memperluas medan apresiasi, di mana karya seni lebih mudah diakses secara terbuka oleh siapa pun, dan seniman bisa lebih gampang berhubungan dengan publik.

Lebih dari itu, diharapkan fb bisa memunculkan kreativitas seni baru berbasis budaya cyber dan lebih menggiatkan wacana seni rupa, seperti dengan cara mendiskusikan isu-isu penting. ”Fb bisa jadi sumber, memperluas, dan menghidupkan pewacanaan seni rupa yang lebih dinamis, luas, dan murah. Inilah the art of facebook,” kata Kuss yang punya 2.200 orang teman di fb.

Hanya saja, kata Asmudjo, sifat fb yang terbuka mungkin cukup menyulitkan pewacanaan menjadi lebih mendalam. Soalnya, semua orang bisa ikut nimbrung, biar mereka yang serius, bercanda, atau hanya mau bergosip saja. ”Tapi, itu pun sudah cukup bisa menyemangati seni rupa.

(diunduh dari http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/03/15/0548296/the.art.of.facebook)

1 Comment

Gadis-gadis yang Manis

Pameran
Gadis-gadis yang Manis

Minggu, 8 Maret 2009 | 07:55 WIB

Oleh Ilham Khoiri

Ketika pasar seni rupa sedang menurun saat ini, CP Foundation menggelar pameran tunggal pelukis China, Qi Zhilong (47), di Galeri Nasional, Jakarta, 3-13 Maret 2009. Belasan lukisan seniman itu mengusung wajah gadis-gadis yang manis, sebagian dalam dandanan seragam ala Mao Tse Tung. Apa pentingnya pameran ini?

Pameran bertajuk ”Back to Sense Perception After Political Pop” itu menampilkan 14 lukisan, rata-rata dibuat pertengahan tahun 1990-an sampai 2000-an. Semua karya itu melukiskan wajah perempuan khas China. Sebagian ditampilkan dalam seragam zaman revolusi (kerap disebut seragam ala Mao Tse Tung); sebagian lagi hadir lebih bebas, seperti potret anak zaman sekarang.

Apa istimewanya lukisan-lukisan ini? Secara teknis, karya Qi Zhilong biasa-biasa saja. Seri wajah itu dilukis dengan pendekatan realis yang bersahaja, tak terlalu rinci, sebagian dengan sapuan samar. Warna coklat-kehijauan yang pucat tampil dominan.

”Teknik realisnya tidak istimewa. Tapi, mungkin ada sesuatu yang lain di balik itu,” begitu kata Chusin Setiadikara, salah pelukis realis andal Indonesia, saat melihat-lihat sebelum pembukaan, Rabu (4/3) malam.

Lantas, kenapa lukisan Qi Zhilong dianggap penting sampai-sampai kurator seni rupa terkemuka, Li Xianting, menyebutnya berkecenderungan ”political pop”? Coba kita amati lebih jauh.

Seri wajah perempuan berseragam Mao itu rata-rata lebih sendu, minim make-up. Meski begitu, mereka tetap memperlihatkan kegembiraan. Ekspresi individu ini kontras dengan seragam zaman revolusi kebudayaan pada masa Mao tahun 1966-1976, yang menandakan zaman gelap.

Bagi kurator Jim Supangkat, lukisan-lukisan Qi Zhilong tak hanya menampilkan kecantikan lokal, tetapi juga mengusung kebebasan individu yang terlarang pada masa revolusi. ”Seragam itu mewakili zaman revolusi yang mengharamkan perempuan tampil cantik. Tapi, dalam lukisan Qi Zhilong, perempuan dengan seragam itu justru tampak cantik dan senang,” katanya.

Pada seri perempuan masa kini, wajah mereka tampil lebih segar, lebih berwarna, dan sebagian dengan make-up kentara. Wajah gadis-gadis itu bersih, manis, seakan belum terkotori keruwetan hidup.

”Mereka itu kelas I dan II sekolah menengah atas, berusia di bawah 20-an tahun. Wajah mereka ini mewakili kesucian, keindahan, kegembiraan, kemudaan,” kata Qi Zhilong.

Agar kesan keindahan lebih kuat, pelukis memermak sebagian anatomi wajah itu. Mata dibuat lebih lebar, hidung dimancungkan, atau kulit dibikin lebih kinclong. ”Jika sudah lebih dewasa, wajah mereka tak suci lagi karena terpengaruh masalah hidup dan pergaulan zaman sekarang,” tambahnya.

Jika dicermati, baik kegembiraan perempuan berseragam ala Moa maupun kesucian gadis pada zaman bebas sekarang itu sama-sama menyiratkan anomali. Kebebasan individu adalah anomali pada zaman revolusi yang menyeragamkan perilaku masyarakat. Demikian pula kemurnian atau kesucian para gadis di tengah zaman yang merayakan kebebasan.

Dua jenis anomali itu mengungkapkan mimpi dan kritik Qi Zhilong pada masyarakatnya. Dilihat dari kacamata ini, karya-karyanya jadi subversif: mengkritik penyeragaman zaman revolusi dan mempertanyakan kebebasan zaman sekarang. Namun, kritik itu halus dan tersimpan di balik pesona gadis-gadis manis.

Politik wajah

Lukisan potret kembali memperoleh posisi istimewa dalam hiruk-pikuk pergerakan seni rupa kontemporer China. Seniman memercayai lagi potret sebagai strategi visual yang efektif untuk mengungkapkan pernyataan atas persoalan sosial-politik. Banyak pelukis China sukses dengan mengandalkan permainan wajah.

Geng Jianyi, salah satunya. Perintis gerakan seni rupa kontemporer China tahun 1980-an itu mengandalkan seri wajah tertawa untuk menyindir politik tertutup Pemerintah China saat itu. Lukisan wajah tertawa menandai keunikan bahasa parodi visual temuan seniman di sana.

Zhang Xiaogang, pelukis papan atas dengan karya berharga selangit, menyajikan potret wajah murung keluarga khas China dengan pipi distempel. Karyanya dianggap berhasil mengulik kenangan pahit atas revolusi kebudayaan yang memisah masyarakat dalam kelompok-kelompok saling bersitegang.

Pelukis Yue Minjun memanfaatkan potret diri tertawa lebar sebagai lukisan yang menghibur sekaligus punya berlapis tafsir. Banyak pengamat menafsirkan tawa berderai-derai itu sebagai strategi untuk menertawakan karut-marut sosial-politik. Tawa itu seperti menelanjangi berbagai ironi politik di China, termasuk tragedi Tiananmen tahun 1989 yang kemudian memicu Deng Xiaoping melancarkan kebijakan politik pintu terbuka.

Satu lagi, pelukis Yang Shaobin, juga menggali berbagai persoalan sosial lewat lukisan wajah-wajah. Raut muka suram, bahkan agak mengerikan, dalam karyanya seperti membuka sisi gelap masyarakat bangsa China yang terpinggirkan dalam proses industrialisasi.

Berbeda dengan keempat pelukis tadi, karya-karya Qi Zhilong lebih lembut. Tak ada pernyataan politik yang serta-merta mencuat dari wajah gadis-gadis manis yang dilukisnya. Namun, bagi orang yang memahami pergeseran sosial di Negeri Tirai Bambu itu, wajah-wajah tersebut membayangkan anomali di tengah sejarah dan arus deras perubahan.

Beri semangat

CP Foundation pernah memamerkan beberapa pelukis papan atas China di Jakarta, seperti Yue Minjun, Fang Lijun, dan Yang Shaobin. Pameran ini termasuk rangkaian pengenalan pelukis-pelukis China ke publik Indonesia. Lebih dari itu, kemunculan Qi Zhilong di tengah situasi pasar seni rupa dunia yang melemah sejak akhir tahun 2008 juga bisa berarti lebih.

”Kami sudah mempersiapkan dan berkomitmen untuk pameran ini sejak 1,5 tahun lalu. Kehadiran Qi Zhilong di sini sekarang justru diharapkan bisa memberi semangat pada kita agar tetap menjaga atmosfer seni rupa meski pasar sedang lesu,” kata Djie Tjianan, Ketua CP Foundation.

Leave a comment

Wacana Bangkrut, Kurator Gendut

CATATAN SENI RUPA 2008

Wacana Bangkrut, Kurator Gendut

Agung Kurniawan

  • Praktisi Seni Rupa

    Lampu terang-benderang menerangi ratusan lukisan dan karya seni yang berjejer rapi di ruang pameran Jogja Nasional Museum. Sedangkan di luar, puluhan banner sponsor menyesaki halaman bekas gedung Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI), Gampingan, Yogyakarta.

    Pameran bertajuk “Highlight” ini adalah pameran yang mencoba merangkum “keberhasilan” Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta sebagai lembaga pendidikan seni tertua di Indonesia dalam melahirkan seniman dan kritikus seni. Pameran ini dilengkapi katalog yang dirancang sedemikian rupa sehingga terlihat mewah: kertasnya mengkilap dan tebal bak bantal. Pembukaan pameran pun sarat dengan pidato dan selingan musik. Semua terkesan rileks dan mewah, tak terasa kita sedang dilanda krisis.

    Pameran dengan ambisi semacam ini beberapa kali digelar pada 2008. Ada Pameran Manifesto di Galeri Nasional Jakarta pada Mei 2008. Pameran Manifesto itu juga bermaksud membeberkan “kemajuan” atau pencapaian seni rupa Indonesia dengan embel-embel memperingati 100 tahun kebangkitan nasional. Serba besar dan megah, tapi sekaligus kosong dari sisi wacana.

    Berbeda dengan 1990-an ketika “Bienalle IX Jakarta”, wacana “seni rupa kontemporerisme”, diangkat sebagai isu utama dan kemudian ramai diperdebatkan. Pameran besar kala itu selalu memiliki agenda untuk menyusupi seni rupa dengan wacana baru. Sebaliknya, pameran besar saat ini hanya mengkopi skala ruang, bukan ideologinya. Kita banyak menemukan pameran dengan mimpi merangkum, mencatat, dan menahbiskan.

    Tapi mimpi tinggallah mimpi. Kenyataannya, pameran itu semua bermuara pada bagaimana menjual dan menjual. Untuk itu, segala cara dilakukan. Salah satunya yaitu menggunakan judul gigantic dan megah “Pameran Besar Seni Rupa” atau “Manifesto”. Dengan judul hiperbolis itu, pembeli diharapkan percaya bahwa seniman yang sedang berpameran adalah seniman terpilih dan berbakat besar. Tapi, faktanya bisa sebaliknya.

    Selain miskin gagasan baru, 2008 juga ditandai dengan munculnya gaya melukis yang menjadi arus besar, yakni gaya juxtapoz dan new painting Eropa. Gaya pertama muncul dominan di Yogyakarta dan gaya kedua berkembang di Bandung.

    Majalah Juxtapoz adalah majalah seni jalanan (street art). Majalah ini gampang ditemui di toko buku mewah di pusat belanja di Yogyakarta. Gaya seni rupa yang diusung majalah ini adalah graphic arts. Dari kategori itu, seni cetak, seni tato, ilustrasi, komik, dan drawing mendapat tempat khusus. Beberapa seniman yang terpengaruh oleh gaya ini antara lain Wedhar Ryadi, Iwan Effendi, Uji Handoko, dan beberapa seniman usia tanggung seangkatan mereka.

    Awalnya, ketertarikan ini tak didasari pertimbangan komersialisme. Mereka tertarik karena gaya hidup yang ditawarkan: seni rupa adalah fashion, bukan “panggilan jiwa”. Seniman yang ada di Majalah Juxtapoz itu tidak semata-mata membuat lukisan. Justru sebagian besar dari mereka membuat poster dan mural.

    Tapi belakangan, pasar yang selalu menuntut “barang baru” untuk dijual di lapak-lapak mewahnya mencium keberadaan gaya ini. Maka, pada pertengahan 2008, karya pelukis muda ini ramai diserbu para tauke. Pada pameran “Jogja Art Fair I” di Taman Budaya Yogyakarta, panitia memberi ruang khusus: Juxtapozism Room.

    Gaya kedua adalah realisme baru yang terkait dengan gaya lukisan baru (new painting) di Eropa. Satu gaya yang memakai realitas kedua yang terekam lewat foto, video, dan alat perekam lainnya sebagai kenyataan baru. Di Eropa, gaya ini selalu dikaitkan dengan nama pelukis seperti Gerard Richter, Marlene Dumas, Luc Tuymans. Sedangkan di Bandung ada nama-nama Dikdik Sayahdikumullah, Beatrix H. Kasmara, dan A. Pramuhendra.

    Seperti halnya Juxtapozism, realisme baru ala Bandung ini pun disedot oleh pasar yang menggila. Harga lukisan mereka yang hanya jutaan melesat ke belasan dan puluhan juta hanya dalam hitungan bulan. Galeri komersial panen besar dan para pelukis muda itu pun menjadi orang kaya baru.

    Tapi, 2008 juga menjadi tahun kebangkrutan wacana seni rupa. Ada ratusan pameran setiap bulan, tapi tak satu pun wacana baru yang dapat di elaborasi. Penyebabnya, kemandekan ini adalah akibat dari minimnya sumber daya kurator yang baik. Belasan kurator melayani ratusan pameran. Maka yang terjadi adalah fenomena K.A.K.A.P (kurator antarkota antarprovinsi).

    Kurator digilir bak pekerja seks komersial di Gang Dolly. Tak lama mereka ada di Magelang, sejenak kemudian sudah ada di Jakarta. Capek dan kesakitan, menyebabkan lahirnya tulisan sampah yang memenuhi lembaran katalog mewah yang dicetak untuk galeri komersial. Isinya, pengantar kuratorial hanya berupa puja-puji yang penuh kutipan kata-kata asing yang sulit dicerna. Tapi imbalannya bagi kurator menggiurkan: Rp 10 juta hingga Rp 30 juta.

    Sikap seperti itulah yang menyebabkan simplifikasi. Kurator gagal menempatkan seni rupa sebagai pengetahuan yang menuntut metodologi terukur. Akibatnya, seni rupa di Indonesia pada 2008 menjadi “sampah visual” nan luar biasa mahalnya, indah tapi tak terjelaskan.

    Tahun 2008 juga ditandai dengan go international, tapi masih berkutat pada art fair. Kota besar, terutama di Cina, menjadi rujukan baru bagi pelukis dan kurator. Mereka sibuk mengemas karya dari stan satu ke stan lainnya. Art fair menjadi “Mekah” para pelukis Indonesia.

    Hanya beberapa pameran penting non art fair di luar negeri yang diikuti seniman Indonesia dengan sponsor lembaga terpandang di Eropa dan Asia. Mella Jaarsma dan Nindityo Adipurnomo di Sonsbeek Festival (Belanda); Tintin Wulia di proyek Becoming Dutch (Museum Van Abbe, Eindoven); Jompet di Yokohama Bienalle (Jepang), Wimo Ambala Bayang di International Electronics Art (Taipei).

    Minimnya proyek internasional bergengsi yang mengangkat isu penting dalam acara seni rupa di dunia menandakan juga di level internasional pun art fair-lah yang mendominasi. Tapi krisis global di pengujung tahun mengerem kecenderungan kapitalisme ikut di dunia seni rupa.

    Mungkin ini saat untuk menjilat luka. Kembali menelaah apa yang telah dilakukan dan kemudian membuat koreksi atas kesalahan yang dibuat. Mari berharap pada 2009, siapa tahu dunia seni rupa Indonesia akan menjadi lebih baik: kaya tapi pintar.

    (diunduh dari http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2008/12/31/Budaya/krn.20081231.152355.id.html)

  • Leave a comment

    Memori yang Samar-samar

    Memori yang Samar-samar
    Minggu, 1 Maret 2009 | 01:40 WIB

    Ilham Khoiri

    Sebenarnya seberapa detail kita mengingat sosok seseorang, terutama wajahnya? Jika dipandu fotografi, barangkali kita mudah mencirikan satu wajah dengan wajah lain. Namun, jika dibiarkan berimajinasi bebas, sebenarnya memori kita itu samar-samar saja.

    Pameran tunggal Erik Pauhrizi, ”Face Phantasmagoria” di Vivi Yip Art Room, Pejaten, Jakarta Selatan, 21 Februari-14 Maret, mencoba mengulik soal ini. Pergelaran menyajikan 10 lukisan cat minyak, enam lukisan cetak digital, dan satu seri cetakan di atas stainless steel. Kurasi ditangani dosen dan pengamat seni rupa dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Asmudjo J Irianto.

    Semua lukisan, cetakan digital, atau cetakan di atas stainless steel itu menyajikan gambar wajah-wajah seseorang—katakanlah someone, bukan somebody. Wajah-wajah itu unik karena ditampilkan dalam warna hitam-putih dan didistorsi pada bagian-bagian tertentu. Kadang, sebagian anatomi wajah dikaburkan (blurred), disamarkan, dikurangi, dihapus, atau dilelehkan.

    Lukisan berjudul ”Arya”, misalnya, menggambarkan wajah laki-laki. Sebagian jaket jins yang dikenakan sosok itu tampak jelas. Namun, wajahnya benar-benar samar. Hanya terlihat gubahan bidang hitam-putih mirip hidung, mata, rambut, dan leher, tetapi detail anatominya hilang sama sekali.

    Karya lain, ”Sandra”, menggambarkan sosok perempuan muda berkerudung totol-totol. Mata, pipi, dan hidung pada bagian kiri wajahnya lumayan jelas. Namun, bagian kanan wajah itu membaur jadi bidang abu-abu. Kerudung di bagian leher mengabur dan seakan meleleh sampai ke dada.

    Seri ”Post Mirrored Reality” juga menampilkan sosok samar yang dicetak di atas stainless steel. Karya ini mengundang pengunjung untuk becermin di depan bidang stainless yang mengilap dan memantulkan gambaran pengunjung. Di situ, terjadi permainan visual antara sosok nyata pengunjung, pantulan optik dari sosok nyata di atas stainless, serta gambar cetakan sebelumnya.

    Semua karya lain kurang-lebih menggambarkan wajah-wajah dengan pendekatan serupa. Menyaksikan deretan lukisan itu di ruang galeri, kita seperti dibenturkan pada ingatan tentang wajah nyata dan wajah olahan. Kita seperti masuk dalam dunia lain, dunia yang samar antara batas nyata dan tak nyata.

    ”Lukisan Pauh (sapaan akrab Erik Pauhrizi) menghasilkan kesan seperti sekuen wajah dengan tampilan misterius dan tidak nyata, atau bisa disebut sebagai phantasmagoria,” kata Asmudjo.

    Misteri dalam lukisan itu kuat karena digarap dengan warna hitam-putih. Warna berat dan kontras itu segera menarik kita sejenak dari kenyataan sehari-hari yang merayakan warna-warni yang enteng, seperti yang kita jumpai di kota-kota besar. Tampilan satu sosok pada setiap lukisan membuat masing-masing sosok tampil dominan dan pemirsa bisa mengeksplorasinya satu-satu.

    ”Karya-karya Pauh memperkaya praktik seni rupa kontemporer Indonesia yang cenderung colorful,” tambah Asmudjo.

    Memori

    Pameran ”Face Phantasmagoria” ini mengajak kita untuk menguji batas memori. Lukisan-lukisan itu mengandaikan, sebenarnya kita sama sekali tidak mengingat wajah seseorang secara detail. Tangkapan kita hanya samar-samar saja.

    Seperti diungkap filsuf Perancis, Jean Paul Sartre, jika seseorang tidak ada di hadapan kita, kita bakal kesulitan membayangkan atau menggambarkan secara rinci bagaimana bentuk hidung, pipi, mata, atau telinga orang yang dikenal itu dengan jelas. Lukisan atau foto kemudian hadir untuk menjembatani antara keterbatasan memori dan kenyataan asli. Namun, karya seni itu tetaplah bukan kenyataan sesungguhnya, melainkan imitasi dari sesuatu yang analog atau mirip-mirip kenyataan itu.

    Agaknya karya-karya Pauh berada dan bermain-main dalam ruang antara ini. ”Saya mencoba menghilangkan jejak-jejak ingatan pada wajah-wajah teman-teman yang saya lukis itu. Saya hilangkan bagian-bagian yang kuat sebagai penanda memori,” katanya.

    Memang, sosok-sosok itu adalah teman-teman dekatnya. Ada mahasiswa, desainer, pemusik, pelukis, atau penganggur. Mereka dipotret satu per satu, kemudian hasil fotonya diolah dalam program komputer dengan menyamarkan bagian-bagian tertentu pada wajah itu. Olahan ini diproyeksikan dengan mesin infocus ke atas kanvas, lantas dilukis lagi dengan cat minyak.

    ”Saya juga mempersoalkan foto yang selama ini dianggap representasi realitas secara akurat. Padahal, citra foto sebenarnya beda dengan sekala, bentuk, dan obyek nyata. Foto hanya kumpulan titik, warna, atau gubahan samar-samar dari obyek asli,” katanya.

    Pauh dekat dengan hal ihwal representasi realitas. Saat kuliah di Jurusan Kriya Tekstil Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB, dia banyak bergelut dengan fotografi dan video. Dua tahun belakangan, dia serius melukis dan wajar saja jika kemudian lukisan-lukisan itu kerap mempersoalkan masalah representasi dalam fotografi dan video. Karya-karya semacam ini pernah digelar dalam pameran tunggal di Mes 56 dan LIP, Yogyakarta, serta di Rumah Seni Yaitu, Semarang, tahun 2008.

    (diunduh dari http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/03/01/01404470/memori.yang.samar-samar)

    Leave a comment

    Mengenali Buah dari Pohonnya

    Mengenali Buah dari Pohonnya
    Minggu, 1 Maret 2009 | 01:41 WIB

    Wicaksono Adi

    Dilihat dari sudut pandang sistem, kedudukan, nilai dan harga suatu karya dalam pasar seni rupa akan bergantung pada variabel (tak terbatas) hasil kesepakatan (yang berubah-ubah) dari berbagai elemen utamanya, yakni otoritas dalam art world, seperti museum, galeri, akademi, media massa seni, seniman top, art dealer, balai lelang, kolektor, kritikus, peneliti, sejarawan seni, dan para kurator. Di situ pembentukan berbagai variabel beserta acuan-acuan yang mendasarinya tak dapat dijalankan secara parsial karena setiap elemen tak dapat dilepaskan dari kinerja keseluruhan elemen yang saling terkait dan bekerja secara koheren: jika satu elemen macet, akan mengganggu kinerja keseluruhan sistem, begitu juga sebaliknya.

    Ada dua jenis sistem: mekanis dan organis. Pada yang pertama biasanya tak terdapat daya evaluatif yang melekat pada tiap elemen sehingga ketika terjadi kemacetan pada elemen tersebut, koreksi harus dilakukan dari luar, pada yang kedua cenderung terdapat daya evaluatif yang inheren sehingga ketika satu elemen aus atau ngadat, ia akan mengoreksi dan memperbarui dirinya sendiri. Sistem organis lebih mandiri dan self fulfilling prophecy, sementara sistem mekanis akan lebih rapuh terhadap krisis karena prinsip keseluruhan yang bertumpu pada parsialitas.

    Jika pada sistem mekanis proses konsumsi seni cenderung berlangsung secara anonim sebagaimana benda-benda industri atau produk massal lainnya, maka pada sistem organis proses tersebut akan bermuara pada personalisasi komoditas karena di situ terdapat tuntutan untuk menyusun berbagai referensi yang relevan dengan konteks perkembangan seni itu sendiri secara khusus maupun yang berkaitan dengan interes sosial-ekonomi secara luas, termasuk kode-kode dan kaidah pertukaran entitas simbolik menuju modal kapital dalam proses reifikasi (pembentukan harga) yang ditentukan oleh berbagai acuan nilai (estetik) yang tak selalu kongruen dengan nilai intrinsiknya.

    Pasar referensial

    Proses konsumsi pada sistem organis cenderung mengikuti perkembangan persepsi personal terhadap apa yang dikonsumsi ketimbang proses ”sekali pakai lalu buang” sehingga (sengaja atau tidak sengaja) tiap pelaku menjadi bagian penting dari upaya pembentukan konstanta-konstanta umum secara berkesinambungan. Konstanta-konstanta umum sebagai hasil kesepakatan (sementara) itulah yang dijadikan acuan transaksi sekaligus medan pembentukan nilai. Di medan itu tiap elemen akan menyusun referensi yang dapat dibaca oleh elemen lain. Referensi A akan melahirkan referensi B; referensi B melahirkan C, lalu D, dan seterusnya. Artinya, pasar tidak hanya menjadi medan pertukaran barang, melainkan juga pertukaran referensi secara meluas dan tanpa akhir.

    Medan pasar seni rupa Indonesia selama ini rupanya lebih mirip sistem mekanis ketimbang organis. Lebih tepatnya, sistem mekanis yang mengarah pada sistem terbuka (yang mestinya justru kompatibel dengan sistem organis). Mekanis dalam arti bahwa proses pertukaran dan konsumsi karya cenderung berlangsung secara anonim (seperti produk industri) dan terbuka dalam arti di medan itu tak terdapat konstanta-konstanta nyata dan hubungan invarian dari berbagai acuan yang membentuk konstanta-konstanta tersebut dengan cara yang tidak dapat ditentukan secara pasti. Pasar sebagai medan pertukaran referensi sering tak ada kaitan (bahkan kadang bertentangan) dengan proses pertukaran barang produksi.

    Proses reifikasi dan pertukaran karya seni dalam sistem terbuka semacam itu memang sangat menggairahkan karena tak ada acuan tunggal sehingga semua orang dapat bermain dengan metodenya sendiri. Tetapi, di sisi lain, lantaran tiadanya tautan kuat antara medan pertukaran referensi dan medan transaksi barang tersebut membuat orang sukar membaca proyeksi referensial dari model-model konstanta umum yang ada. Semua menyebar seperti bazar: satu saat riuh oleh hiruk-pikuk transaksi, saat lain (ketika pasar malam itu usai) lapangan menjadi sunyi. Suatu bazar memang riuh oleh timbunan peristiwa transaksi, tetapi timbunan peristiwa tentu berbeda dengan rangkaian peristiwa yang terbentuk dalam kerangka kerja sistemik-organis.

    Keragaman acuan

    Maka, perlu dilakukan upaya untuk mendorong fenomena bazar tersebut menuju pasar sebagai sistem organis. Tetapi, harus dimulai dari mana? Beberapa orang (Deddy Kusuma, Daniel Komala, Deddy Langgeng, Bre Redana, Vivi Yip, Suzanna Perini, Teguh Ostenrik, dan Pintor Sirait) membuat diskusi kecil di rumah seniman Astari untuk membahas perkara tersebut. Tren menurun pada pasar seni rupa kita akibat imbas krisis finansial global sekarang ini mesti dilihat melalui prinsip sibernetik paling sederhana: ketika air mendidih dalam ketel, maka katup ”buka-tutup” dalam ketel itu akan bekerja mengatur volume uap air, mirip katup pada penampungan yang otomatis menutup oleh tekanan volume air sehingga mencapai titik keseimbangan yang normal dan aman. Jika katup ngadat, ketel akan meledak dan buyarlah semuanya.

    Pada masa tenang ini semua hal dapat dilihat secara lebih jernih, termasuk kaitan antara medan pertukaran referensi (”wacana”) dan medan transaksi barang. Meski pasar menurun, toh di sana-sini terus muncul berbagai event penting, baik di medan ”privat” (galeri dan balai lelang) maupun ”publik” dan ”komunitas” di mana seni rupa mewujud sebagai peristiwa (dan bukan benda) sehingga mustahil dikomodifikasi secara konvensional. Di situ terlibat banyak seniman (baru) yang mencoba berbagai hal beserta acuan-acuan yang kian rumit dan spesifik. Satu perkembangan dalam lingkaran tertentu kadang hanya dapat dipahami melalui acuan-acuan yang ada dalam lingkaran tersebut.

    Tentu dibutuhkan lebih banyak ragam referensi berkualitas guna memahami konteks dari berbagai perkembangan tersebut, dari yang paling sederhana hingga kajian komprehensif yang dapat mendedah konteks estetik dan historisnya—termasuk membuka akses pemahaman terhadap hubungan antara gejala kontemporerisme dan basis kultural-tradisional, misalnya. ”Tiap kolektor (baru) pertanyaannya sama: siapa seniman A ini, bagaimana menilai karyanya dalam konteks perkembangan terkini,” ungkap Daniel Komala. ”Jadi, memang dibutuhkan referensi yang adekuat, baik untuk mereka yang hendak belajar maupun yang sudah ahli,” tambahnya.

    Informasi dan wacana semacam itu memang belum banyak tersedia. Oleh karena itu, harus diproduksi lebih banyak acuan berkualitas dalam bentuk yang beragam, mulai dari yang paling dasar dan sederhana hingga paling canggih dan spesifik, sekaligus menciptakan modus mediasi yang meluas (sesuai dengan bentuk-bentuk acuan tersebut) agar lebih mudah diakses oleh siapa pun.

    Kolektor Deddy Kusuma merekomendasikan dibentuknya semacam institusi untuk menjalankan program tersebut, terutama untuk menggalakkan kajian dan penelitian seni rupa, mendorong para kritikus, kurator, dan penulis agar lebih produktif. Tentu, institusi itu bukan badan tunggal dan baku, tetapi sejenis jaringan (kolaborasi berbagai lembaga seni-budaya) yang bergerak dalam spektrum yang luas sehingga dengan sekali ”klik” siapa pun bisa mendapatkan berbagai informasi akurat yang dapat dipakai untuk membaca peta seni rupa kita maupun untuk menyusun referensi otoritatif guna mematangkan konstanta-konstanta atau ukuran umum yang menentukan nilai karya.

    Dan pematangan ukuran itu hanya dapat terjadi melalui penyerapan secara intensif dari berbagai referensi adekuat tersebut sehingga tiap pelaku dapat berpijak pada dua sisi sekaligus: di medan pertukaran referensi dan medan transaksi barang produksi. Suatu proses di mana ”wacana” tak lagi diproduksi dan dimediasi secara parsial, lalu dikonsumsi dan dipahami secara mekanis-instrumental ”sekali pakai lalu buang”, melainkan sebagai substansi yang akan bermuara pada proses pemahaman seni rupa melalui pengayaan referensi si pelaku sebagai subyek otonom yang mandiri. Itulah proses personalisasi seni yang berbeda dengan produk industri massal. Seni dan knowledge yang membentuknya adalah organisme hidup yang berkembang bersama proses pematangan persepsi (dan mental) tiap orang yang terlibat di dalamnya.

    Tentu, langkah awal untuk menuju ke sana adalah dengan menata segala yang terserak dalam bazar seni rupa kita yang riuh itu. Penyair Muhammad Iqbal, salah seorang bapak bangsa Pakistan, pernah berkata: ”Karena Tuhan telah menciptakan hutan, tugas kita adalah menatanya menjadi taman”. Di taman itu kita akan memetik buah seni dari pohon pengetahuan yang subur lalu memakannya sebagai asupan bergizi hingga kita tumbuh menjadi subyek yang utuh, dan bukannya sebagai sekrup dari sebuah mesin yang anonim dan impersonal.

    Wicaksono Adi, Kritikus Seni Rupa

    (diunduh dari http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/03/01/01411383/mengenali.buah.dari.pohonnya)

    Leave a comment