Archive for category B e r i t a

Undangan Pameran Seni Rupa Nusantara 2011 “Imaji Ornamen”

UNDANGAN PAMERAN
GALERI NASIONAL INDONESIA, 19 – 29 MEI 2011
Pameran Seni Rupa Nusantara 2011
Imaji Ornamen
 
 
TEMA                    : “Imaji Ornamen”
WAKTU                : 19 Mei – 29 Mei 2011
PERESMIAN       : Kamis, 19 Mei 2011
pukul                      : 19.00  WIB – selesai
Pameran akan diresmikan oleh :
Menteri Kebudayaan dan Pariwisata RI
Bpk. Ir. Jero Wacik, MBA
TEMPAT               : Galeri Nasional Indonesia, Jakarta
KARYA                 : Lukisan, Patung, Seni Cetak, Fotografi, Video Art, Object, Instalation Art
PESERTA              : Calon peserta terdiri dari para perupa yang perorangan atau kelompok dari berbagai  wilayah di Indonesia, berdasarkan proses seleksi tim kurator dan juga berdasarkan undangan khusus dari pihak Galeri Nasional Indonesia.
TIM KURATORIAL             :  Kuss Indarto (curator)
Eddy Susilo  : (exhibition coordinator)
Email             : pameran.nusantara2011@gmail.com
***
 
 
PENGANTAR KURATORIAL
 
Imaji Ornamen
ORNAMEN telah lama menjadi bagian yang melekat dalam sejarah seni (rupa) di Indonesia. Publik dapat memberi tengara, misalnya, pada sekujur tubuh bangunan banyak candi Hindu dan Buddha yang bertebar di beragam kawasan di Indonesia. Sebagai amsal, candi Borobudur yang dibangun mulai sekitar 824 M dan candi Prambanan (sekitar 850 M). Di dalamnya, pada arca, relief, dan tubuh candi itu sendiri banyak sekali tergurat ornamen yang mengisahkan fragmen-fragmen Ramayana dan Mahabharata. Ada detail yang njelimet yang bisa dimungkinkan menjadi salah satu representasi atas ketelitian cara kerja dan (bahkan) cara berpikir manusia Indonesia (waktu itu).
Demikian juga tatkala publik mencermati karya seni batik dari berbagai daerah. Mulai dari batik ala keraton Ngayogyakarta, Surakarta, atau batik pesisiran ala Pekalongan, Cirebon, Indramayu, Gresik, hingga Madura, Riau dan berbagai kawasan lain. Semuanya memberi porsi yang besar atas ornamen sebagai tanda visual yang dominan. Berbagai motif, baik yang dikreasi dengan didasarkan atas kelas sosial tertentu (seperti batik motif parangrusak, udan liris, kawung atau sidomukti di keraton Ngayogyakarta), hingga batik yang diciptakan dengan cara pandang egaliter di luar keraton, telah menempatkan aspek ornamen sebagai hal yang penting, melekat dan dominan di dalamnya.
Belum lagi dengan motif-motif pada bagian tertentu dalam bangunan atau arsitektur ala Melayu, Minangkabau, Banjar, Dayak, Batak, Bugis, Lombok, dan sekian banyak kelompok suku dan etnis lainnya. Di sana, ornamen tidak sekadar menjadi tempelan sekadarnya, namun telah bersalin makna sebagai identitas kultural yang dihasratkan sebagai simbol kebanggaan masing-masing suku atau etnis. Demikian pula kalau publik menilik seni tattoo yang telah (pernah?) ada pada sebagian masyarakat di Indonesia, terutama di Mentawai dan Dayak. “Seni lukis” tubuh itu mengenal dengan sadar pola-pola tertentu yang mendepankan aspek ornamen(tik) untuk memberi tekanan artistik dan semiotik dalam mengguratkan seni tattoo tersebut. Sikerei di Mentawai memiliki pemahaman yang cukup untuk memberi ornamen atas tubuh-tubuh orang tertentu saat hendak menattoo, berdasarkan profesi atau kelas-kelas tertentu yang ada dalam masyarakat.
***
ORNAMEN sendiri, seperti banyak disitir dari para etimolog, berasal dari kata ornare (bahasa Latin) yang berarti “menghiasi”. Ornamen, dalam Ensiklopedia Indonesia, dijelaskan sebagai gugusan hiasan bergaya geometrik atau yang semacamnya. Ornamen, lazimnya dikreasi pada sebuah bentuk dasar dari hasil kerajinan tangan (bisa perabot, pakaian, dan sebagainya) dan arsitektur. Ornamen menjadi komponen dalam produk dan kreasi seni yang ditambahkan atau didisain secara sengaja dengan tujuan sebagai hiasan.
Pembahasan perihal ornamen tidak terlepas dari pola dan motif karena itu merupakan bagian yang melekat dari ornamen. Pola dalam bahasa Inggris disebut “pattern”. H.W. Fowler dan F.G Fowler menyebut bahwa pola adalah “decorative” design as executed on carpet, wall paper, cloths etc”. Sedangkan Herbert Read menjelaskan pola sebagai penyebaran garis dan warna dalam suatu bentuk ulangan tertentu. Mungkin masih sulit gambaran kita tentang pola apabila belum mengerti motif. Dalam Ensiklopedia Indonesia, dijelaskan bahwa motiflah yang menjadi pangkal tema dari suatu buah kesenian. Pendapat di atas bisa digambarkan bahwa bila ada garis lengkung, msalnya, maka garis tersebut disebut sebagai motif, yaitu motif garis lengkung. Kalau garis lengkung tadi diulang secara simetris, maka akan diperoleh gambar lain yaitu gambar kedua. Inilah sebuah pola yang didapat dengan menggunakan motif garis lengkung tadi. Selanjutnya bila gambar kedua tadi motif dan diulang-ulang menjadi gambar ketiga, maka gambar tersebut dapat disebut sebagai pola atas motif yang kedua tadi. Demikian seterusnya.
Di samping tugasnya sebagai penghias secara implisit menyangkut segi-segi keindahaan, misalnya untuk menambah keindahan suatu barang sehingga lebih bagus dan menarik. Disadari pula bahwa dalam ornamen sering ditemukan pula nilai-nilai simbolik atau maksud-maksud tertentu yang ada hubungannya dengan pandangan hidup (falsafah hidup) dari manusia atau masyarakat pembuatnya, sehingga benda-benda yang dijadikan medium atas ornamen itu memiliki arti dan makna yang mendalam, dengan disertai harapan-harapan yang tertentu pula.
Memang, tak jarang ornamen itu berkait dengan masalah-masalah lain yang lebih kompleks dan luas. Kaitan hubungan tersebut bisa diuraikan perihal motif, atau tema maupun pola-pola yang dikenakan pada benda-benda seni, bangunan, dan pada permukaan apa saja tanpa memandang kepentingannya bagi struktur dan fungsinya. Selanjutnya apabila diteliti lebih mendalam dari pembahasan di atas, cakupan ornamen menjadi teramat luas. Oleh sebab itu pengertian ornamen akan bergantung dari sudut pandang kita melihatnya, dan setiap orang bebas menarik kesimpulan menurut sudut pandangnya.
***
LALU, apa yang bisa diperbincangkan dan dipertajam dari kuratorial tentang “Imaji Ornamen”? Inilah titik penting yang diajukan dalam perhelatan ini.
Ornamen sebagai bagian dalam “bawah sadar” dan “tradisi” yang dikenal, diketahui atau bahkan melekat dalam diri dan proses kreatif seniman di Indonesia, kali ini dihasratkan untuk dijumput dan digali kembali, dan kemudian diaktualisasikan dan dikembangkan dalam konteks kebaruan cara pandang seniman terhadap perkembangan jaman. Ini memang sebuah hasrat yang “klasik” namun memang perlu kreativitas lebih lanjut dari para perupa untuk lebih mendinamisasikan lagi.
Publik bisa berkaca dari beragam contoh karya seni rupa kontemporer yang telah beredar di sekitar kita. Sebut misalnya karya “Wayang Batak” karya Heri Dono yang mengolah aspek dasar wayang dengan pembaruan segi ornamentasinya yang naïf dan kartunal khas Heri Dono. Demikian pula dengan karya lukis dari perupa Nasirun yang memendam memori personalnya atas dunia pewayangan yang menjadi akar (dasar) tradisinya. Wayang digali dan digubahnya kembali dengan spirit “kontemporer” sesuai kapasitas estetik dan artistiknya. Dan publik tentu tahu persis bahwa dunia rupa wayang sangat identik dengan dunia ornamen yang rumit penuh ketekunan. Demikian pula dengan seniman Indonesia yang kini bermukin di Australia, Dadang Christanto. Pada satu waktu, sekitar dua tahun lalu, karya-karyanya yang dipamerkan secara tunggal di Jepang banyak menggali aspek visual dari batik pesisiran Cirebonan dengan motif mega mendung. Pun dengan pasangan Santi dan Otom yang melabelkan diri dengan nama Indieguerillas. Karya-karya mereka yang paling mutakhir sedikit banyak beranjak dari kemampuan mereka untuk mengeksplorasi dan menggubah kembali narasi-narasi visual lokal untuk diangkat dalam “narasi baru” yang dekat dengan konteks perbincangan masa sekarang (versi Indieguerillas, tentu saja). Sekali waktu, tokoh-tokoh Punakawan yang bernilai lokal itu dijadikan sebagai salah satu subyek utama karya meraka dan dihadirkan dalam kerangka pandang “new pop art” yang kontekstual untuk masa sekarang.
Dengan demikian, sesungguhnya, perhelatan Pameran Nusantara 2011 ini memberi peluang seluas-luasnya bagi para perupa yang bergerak dalam banyak ragam medan dan medium seni rupa untuk terlibat memikirkan kembali (re-thinkhing), membaca kembali (re-reading), dan menemukan kembali (re-inventing) nilai-nilai dalam ornamen yang telah banyak bergerak di sekitar sebagai nilai lokal untuk dikembangkan lebih lanjut dengan bentuk ungkap dan sistem pemahaman yang (sebisa mungkin) lebih baru dan dalam.
***
A. CATATAN BAGI PESERTA PAMERAN
 
  • Calon peserta terdiri dari para perupa perorangan atau kelompok dari berbagai  wilayah di Indonesia, berdasarkan proses seleksi tim kurator dan juga berdasarkan undangan khusus dari pihak Galeri Nasional Indonesia.
  • Setiap calon peserta WAJIB MENDAFTARKAN DAN MENGISI FORMULIR yang disediakan panitia PALING LAMBAT tanggal 21 April 2011, melalui email pameran.nusantara2011@gmail.com
Alamat pengembalian Formulir Pendaftaran/ Kesediaan calon peserta adalah:
Panitia Pameran
Seni Rupa Nusantara 2011 “Imaji Pameran”
Galeri Nasional Indonesia
Jl. Medan Merdeka Timur no.14 (depan Stasiun KA. Gambir)
Jakarta Pusat
TEL/ FAX          : 021- 34833954
Email   : pameran.nusantara2011@gmail.com
u.p. Bpk. Tunggul (HP : 085780825275 )
  • Setiap peserta WAJIB menyertakan keterangan CV/Biodata dan konsep karya dalam BAHASA INDONESIA sebagai DATA FILE (Word Document). Biodata terdiri dari : Data diri, alamat lengkap, prestasi, dan photo diri serta image karya yang akan dipamerkan.
B. CATATAN TENTANG KARYA
 
  • Pengerjaan dan penyiapan karya adalah tanggung jawab peserta
  • Karya yang diajukan untuk dipamerkan merupakan karya yang dibuat dalam rentang waktu dari tahun 2010 hingga 2011 serta milik masing-masing peserta.
  • Karya yang dipamerkan merupakan hasil tanggapan terhadap tema “Imaji Ornamen”
  • Karya peserta berupa: Lukisan, Patung, Seni Cetak, Fotografi, Video Art, Object, Instalation Art
  • Media dan teknik pembuatan karya tidak mengikat/ BEBAS.
  • Setiap peserta kengirimkan dua buah karya dalam bentuk image/foto ukuran 10 R (dikirim via pos) atau dalam bentuk soft data image resolusi minimal 500 kb dan maksimal 1 mb (dikirim via email) untuk bahan seleksi tim kurator.
  • Ukuran karya:
Karya 2 dimensi (minimal 1×1 m dan maksimal lebar 3x4m)
Karya 3 dimensi (minimal 50 cm3 dan maksimal 3 m3)
Karya instalasi (maksimal 3 m3)
Dengan diperbolehkan pilihan secara vertikal ataupun horisontal.
  • Pilihan Ukuran, materi dan bentuk karya yang bersifat khusus harus dibicarakan dengan pihak kurator.
  • Karya yang telah terpilih dapat disempurnakan kembali dan di foto ulang dan dikirimkan ke panitia pameran paling lambat 21 April 2011. Foto tersebut di gunakan untuk keperluan pembuatan katalog pameran.
 
 
 
C. PENGEPAKAN DAN PENGIRIMAN KARYA
 
  • Pengepakkan dan pengiriman karya ke Galeri Nasional Indonesia (Jakarta) adalah tanggung jawab peserta pameran.
  • Masing-masing perserta disarankan menyiapkan kemasan bungkus atau kotak karya yang memadai  sehingga tidak akan mengakibatkan kerusakan karya saat proses pengiriman karya
  • Peserta wajib mengirimkan karyanya dalam kondisi finish siap pajang/display.
  • Bagi karya peserta yang menggunakan pigura, maka peserta WAJIB mengirimkan karyanya dalam kondisi SUDAH DIPIGURA (frame)/ finish.
  • Karya paling lambat diterima di Galeri Nasional Indonesia tanggal 6 Mei 2011
  • Alamat pengiriman karya:
Panitia Pameran
Seni Rupa “NUSANTARA 2011”
u.p. Bpk Tunggul (HP : 085780825275 )
Galeri Nasional Indonesia
Jl. Medan Merdeka Timur no.14 (depan Stasiun KA. Gambir)
Jakarta Pusat
TEL/FAX : 021 – 34833954
  • Pengepakkan kembali dan pengiriman ulang karya kepada perupa/peserta adalah tanggung jawab pihak Galeri Nasional Indonesia.

D. DISPLAY KARYA
 
  • Display karya adalah hak dan tanggung jawab kurator pameran dan Galeri Nasional Indonesia.
  • Pemasangan atau display karya yang bersifat khusus akan didiskusikan oleh kurator dengan pihak perupa/peserta yang bersangkutan.
  • Pengadaan alat yang digunakan untuk presentasi karya adalah tanggung jawab masing-masing peserta yang menggunakannya.
E. PUBLIKASI
 
  • Galeri Nasional Indonesia akan memproduksi katalog pameran.
  • Publikasi kegiatan akan dilakukan melalui berbagai saluran promosi dan interaksi elektronik.
  • Undangan dan poster pameran akan diproduksi Galeri Nasional Indonesia.
  • Galeri Nasional Indonesia akan menyelenggarakan kegiatan press confeerence dan menyebarkan press release menjelang pelaksanaan kegiatan.
F. RANGKAIAN KEGIATAN
  • Kegiatan pameran akan dilengkapi oleh rangkaian kegiatan :
1.      Diskusi/Sarasehan mengenai Seni Rupa Nusantara (20 Mei 2011) pukul 10.00 WIB hingga selesai.
G. CATATAN KHUSUS
 
  • Karya yang dipamerkan pada Pameran nusantara 2011 ini direncanakan dipamerkan keliling ke kota lain. Penentuan materi pameran diseleksi oleh tim kurator Galeri Nasional Indonesia
CATATAN : TENGGAT WAKTU PENTING (TIME FRAME)
1.      Pendaftaran Kesertaan Peserta Pameran,Pengumpulan Biodata Seniman dan Pengumpulan Image/photo karya                                                                                        7 Maret – 21 April 2011
2.      Proses seleksi tim kurator                                                            25 April 2011
3.      Pengumuman Karya/Peserta terpilih                                           26 April 2011
4.      Pengiriman Karya ke GNI                                                             1 – 6 Mei 2011
5.      Display Karya                                                                                16 – 19 Mei 2011
6.      Pembukaan Pameran                                                                   19 Mei 2011
7.      Pameran Seni Rupa Nusantara 2011 “Imaji Ornamen”              19 – 29 Mei 2011
8.      Pembongkaran Display Karya                                                       30 Juni – 3 Juli 2011
9.      Pengembalian Karya pada Peserta                                              3 – 30 Juli 2011

5 Comments

Seni Rupa

Seperti apakah seni rupa Indonesia? Seni rupa Indonesia makin terlibat dalam hiruk-pikuk pasar seni rupa (art market) di Asia. Generasi baru perupa Indonesia yang dalam bahasa ”pasar seni rupa” disebut ”contemporary artist”, di pasar menempati posisi sepenting bahkan lebih ”panas” dibanding artis-artis yang dikategorikan sebagai ”old and modern master” seperti Affandi, Sudjojono, dan Hendra Gunawan. Bre Redana

Mereka ini sebutlah antara lain Yunizar, Rudi Mantofani, Handiwirman Sahputra, I Nyoman Masriadi, dan Putu Sutawijaya. Generasi setelah mereka dengan eksperimen gila-gilaan, beberapa di antaranya dari disiplin grafis, tengah merangkak naik.

Sementara pasar memetakan sendiri perkembangan seni rupa kontemporer Indonesia, apa itu seni rupa Indonesia dari rumusan yang ingin mengklaim lebih akademis belumlah jelas. Dari sisi pasar, seperti dipetakan lembaga bernama artprice untuk Art Stage Singapore, terlihat betapa signifikan posisi Indonesia di Asia.

Dalam kata pengantarnya, artprice dengan yakin menyebut: sejak milenium baru, pusat daya sedot kreasi artistik dan penawaran (demand) telah pindah secara mencolok ke Timur. Sebelumnya artprice menguraikan betapa di tahun 1950-an Eropa telah kehilangan supremasinya atas pasar seni rupa yang berpindah ke tangan Amerika. Semacam revolusi, di mana Eropa Lama tak pernah bangkit kembali.

Kini, ditandai dengan perkembangan ekonominya, China, India, dan Indonesia mengambil peran penting pada pasar seni rupa internasional. Ditambah kekuatan Taiwan, Korea Selatan, dan Jepang, penghasilan Asia dalam pasar seni global di tahun 2009 mengungguli Amerika. Menurut data artprice, total penghasilan balai lelang Asia 155 juta dollar AS, sementara Amerika 142 dollar.

Peristiwa

Di luar angka-angka yang bikin mabuk itu, seperti apa sebenarnya kegairahan seni rupa kontemporer Indonesia bisa dilukiskan? Sebuah peristiwa bernama ”art fair” barangkali bisa menggambarkannya. Kita bisa menangkap atmosfernya di situ.

Belakangan ”art fair” telah menjadi sebuah ”happening”, sebuah peristiwa—bukan sekadar kejadian—bagi kalangan seni rupa, baik untuk kalangan kolektor, pedagang dan perantara seni, serta seniman. Peristiwa-peristiwa itu berlangsung di Hongkong, Shanghai, Beijing, dan semacamnya. Di Jakarta juga telah berlangsung peristiwa serupa, disponsori oleh majalah gaya hidup (bukan majalah seni). Tahun 2011 ini, kelihatannya di Jakarta bahkan akan berlangsung dua ”art fair”, didukung dua majalah berbeda.

Di kawasan Asia Tenggara, yang paling baru berlangsung di Singapura, dengan nama Art Stage Singapore, mengambil tempat di kawasan premium negeri itu, Marina Bay Sands, tanggal 12-16 Januari 2011. Otak di balik acara ini adalah kurator dari Swiss, Lorenzo Rudolf, yang dikenal prakarsanya dalam melahirkan Art Basel, baik di Swiss maupun Miami. Berskala internasional, Arts Stage diikuti lebih dari 120 galeri dari berbagai negara, baik Asia, Eropa, dan Amerika. Dari Indonesia, 12 galeri ikut serta. Sesuai abjad, mereka adalah Ark, Canna, Edwin’s, Fang, Langgeng, Linda, Nadi, Platform3, Semarang, Umahseni, Vanessa, dan vivi yip.

Wanita

Banyak yang berkomentar Art Stage lebih meriah dibanding Singapore Art tahun lalu. Harian negeri itu, Straits Times, tiap hari menempatkan peristiwa ini sebagai berita utama. Mereka soroti harga-harga barang seni yang menakjubkan dari karya Picasso sampai perupa yang menjadi semacam selebritas zaman ini, Takashi Murakami.

Selain soal harga dan penjualan, juga karya-karya yang mengandung potensi kontroversi. Misalnya karya seniman Indonesia Ronald Manullang, yang dibawa ke Art Stage oleh Galeri Umahseni. Ronald menggambarkan rangkaian Hitler dengan tubuh perempuan montok sedang hamil. Pemilik galeri, Leo Silitonga, mengaku karya-karya itu telah menimbulkan reaksi kontras. Ada yang suka sekali, ada yang tidak suka sekali, bahkan dikasih katalog pun menolak.

Atau apa yang ditampilkan oleh Galeri Maskara dari Mumbai, India. Artis galeri ini, T Venkanna, sepanjang hari hanya duduk bertelanjang bulat dalam booth-nya. Pengunjung booth diatur oleh pemilik galeri untuk masuk satu per satu, dan diambil fotonya duduk bersebelahan dengan sang artis. Banyak yang menolak, terutama pengunjung wanita. Alasannya, si artis kurang ganteng. ”Kalau seperti Brad Pitt saya mau,” kata seorang wanita cantik tertawa.

Peristiwa ”art fair” semacam ini adalah peristiwa urban. Majalah-majalah gaya hidup menyelenggarakan photo session. Pesta-pesta sudah pasti. Tanya seniman-seniman muda Indonesia. Mereka masing-masing menyimpan pengalaman seru. Para fashionista berkeliaran, dalam acara yang diperkirakan dikunjungi sekitar 50.000 orang selama lima hari ini. Banyak cowok yang kelihatannya memotret karya seni, padahal diam-diam mengambil foto para wanita. Perdagangan seni dan galeri umumnya memang dipegang wanita. Ada film berjudul Women Art Revolution menggambarkan keadaan ini.

Monyet

Di tengah hiruk pikuk itu, kembali ke pertanyaan semula, seperti apa seni rupa Indonesia? Tak urung, pertanyaan itu muncul dalam ”Talks Programme”. Seorang peserta diskusi mengaku dari Inggris mengajukan pertanyaan tersebut ketika berlangsung diskusi ”Indonesian Art on the World Stage”. Pembicara adalah Oei Hong Djien, Deddy Kusuma, Wiyu Wahono, ketiganya kolektor, serta perupa Arin Dwihartanto dan kurator Alia Swastika. Penanya mengulang rumusan pertanyaannya karena rupanya tak ada jawaban yang melegakannya (Alia bersikukuh, seni adalah soal gagasan).

Seorang pemilik galeri dari Singapura yang banyak berhubungan dengan seniman di Yogya mengambil alih pembicaraan. Dia mengaku tahu jawabannya. Katanya, seni (rupa) di Indonesia adalah sesuatu yang paling orisinal (most original). Di negara-negara lain katanya seni rupa terkurasi berlebihan (over currated) dan tertata berlebihan (over managed). Itu kebalikan dari yang terjadi di Indonesia, di mana seni katanya ”undercurrated and undermanaged”.

Tak jelas apakah itu pujian atau ledekan. Menjadi ingat Eddie Hara, seniman Indonesia yang tinggal di Belgia. Ia ikut serta acara ini bersama Nadi Gallery. Kata Eddie, seniman itu ibaratnya monyet. Ada tiga jenis monyet, yakni monyet kebun binatang (jinak, peliharaan pemerintah), monyet sirkus (terampil, mendatangkan keuntungan, biasanya dipelihara galeri), dan monyet hutan (bebas apa maunya, tapi tak dikenal).

Biar kalangan seni rupa sendiri yang menjawab.

(diunduh dari http://m.kompas.com/news/read/data/2011.01.23.04213541)

<!–

–>

Leave a comment

Dunia Fantastik Budiana

Pameran Dunia Fantastik Ketut Budiana.

Warih Wisatsana

Para perupa Bali kini bukan hanya menghadapi godaan globalisasi dengan ikon-ikon yang diandaikan kontemporer, melainkan pula harus kuasa mengkritisi eksotika tradisi yang sering dipandang adiluhung itu. Dalam ketegangan kreatif ini, yang mengemuka tidak semata persoalan identitas komunal, tetapi juga menjadi tantangan masing-masing kreator untuk meraih capaian eksistensi pribadi tersendiri.

Ketut Budiana (60), kelahiran Padangtegal, Ubud, melalui pameran tunggal ”Dunia Fantastik” di Bentara Budaya Bali (BBB), 28 Januari-7 Februari 2011, mengindikasikan problematik tersebut, serta menawarkan arah kreasi yang mungkin ditempuh. Ada 60 karya terpilih, mengekspresikan bagian diri Ketut Budiana yang komunal dan juga sisi lain yang individual.

Aneka wujud dalam kanvasnya adalah ikon-ikon yang akrab dalam keseharian masyarakat Hindu Bali, terlacak jejaknya hingga ke nilai filosofis paling hakiki. Yang membedakannya dengan karya-karya pelukis Bali lainnya, Ketut Budiana mampu mengolah wujud kosarupa tersebut menjadi suatu dunia yang fantastik. Wajah-wajah menyeramkan dan figur-figur yang merujuk pada wiracerita setempat, semisal rangda, barong, leak, dan lain-lain, tidak sekadar diinterpretasi ulang, tetapi diolah sebagai ekspresi pribadi. Hasilnya adalah kreasi yang boleh dikata modern, sarat dengan kekuatan ekspresi simbolisme kosmis, melampaui kebakuan bentuk lukisan Bali tradisional.

Transformasi

Sebagaimana diungkapkan Jean Couteau, kurator pameran, Ketut Budiana tidak mengidealkan Bali dalam karyanya, sekaligus tidak pula berpretensi menjadi saksi gelombang perubahan yang tengah dialami masyarakat. Yang dia tawarkan sesungguhnya adalah upaya transformasi, diterjemahkan dalam wujud garis dan warna, memanfaatkan bukan hanya ikonografi yang direvisi, tetapi juga suatu inovasi bersifat teknis dan stilistik. Orisinalitas karya tercapai justru karena garis grafisnya yang semakin bebas berikut kepiawaian Budiana mengeksplorasi kertas-kertas Jepang atau kertas olahannya sendiri.

Dalam upaya transformasi tersebut, Ketut Budiana secara sadar memilih teknik melukisnya berupa sapuan demi sapuan (laburan/wash), dengan tinta atau warna. Menariknya, grafis atau drawing tetap terjaga, bahkan menjadi satu kesatuan yang utuh dengan ikon-ikon dan kosarupa pilihannya, didukung oleh adanya unsur naratif serta irama visual yang terarah. Lukisannya yang berjudul Kelahiran, misalnya, secara filosofis menyuratkan nilai-nilai dualitas, lelaki dan perempuan, Dewa Siwa dengan Dewi Uma. Adapun secara bentuk, terbangun padu melalui wujud kosmis yang hidup dalam memori kultural masyarakat Bali, tetapi sekaligus bukan sesuatu yang klise dan artifisial.

Hal yang sama juga mengemuka dalam karya-karyanya yang lain, bernada spiritual dan mengekspresikan suatu yang simbolis filosofis. Simaklah Meditasi atau Linggam (simbolisme Dewa Siwa/purusha). Wujud rupa yang mengemuka adalah suatu yang bersifat khas Ketut Budiana, tetapi bernilai universal lantaran mewakili bentuk-bentuk yang dapat dijumpai dalam keseharian kita.

Dengan kata lain, Ketut Budiana berhasil mengolah keunikan akar kulturnya dengan keuniversalan pikiran serta emosinya sebagai sosok manusia yang individual. Pergulatan ke arah itu bukanlah sesuatu yang mudah mengingat betapa Pulau Bali hingga belakangan ini, tempat di mana ia lahir dan berkembang, terkait konteks sosio historisnya, kerap diwacanakan dan terkonstruksi secara ’ideal’ dengan citraan stereotip sebagai the last paradise, berikut eksotik turistik yang membayang-bayangi dan terbukti bisa menjadi tirani estetik tersendiri.

Memang, sejak awal kolonial, bahkan jauh sebelum itu, Bali boleh dikata telah mengalami globalisasi dengan berbagai ragam determinasinya. Pergulatan dan capaian Ketut Budiana merefleksikan proses lintas budaya (trans culture) serta silang budaya (cross culture) yang mempertautkan nilai-nilai warisan leluhurnya (tradisi) dengan nilai-nilai budaya lain. Pada sebagian karyanya, kita dapat meresapi suatu capaian yang bersifat asimilasi, mengandaikan adanya pertemuan berbagai kultural, menghasilkan sesuatu yang baru dengan unsur dasar yang dianggap telah luluh. Di sisi lain, sebagian karyanya membuahkan nilai-nilai baru yang akulturatif, dengan unsur-unsur yang dapat dilacak ke asal muasalnya.

Jalan yang ditempuh Ketut Budiana, berikut simpang kemungkinannya, tentulah dialami juga oleh para perupa Bali lainnya, entah kemudian bersetia dengan ragam tradisi atau secara sadar memilih ekspresi modern/ kontemporer. Namun, sebagaimana capaian Gusti Nyoman Lempad, pembaru seni rupa Bali dari abad ke-19, diperlukan kesadaran dan intensitas yang teguh guna menghindari godaan-godaan penciptaan; sekadar terbawa arus mainstream seni ataupun tren tematik yang stereotip; seraya mampu berkelit dari kebanalan dunia pariwisata, penuh janji kemakmuran yang membuat kreator lekas tenteram dalam kemapanannya.

warih wisatsana, Penyair

(Copas: http://cetak.kompas.com/read/2011/02/06/04153668/dunia.fantastik.budiana)

Leave a comment

Kemenangan Becak Obama

28 Juni 2010

PERDEBATAN panas pecah di antara lima ahli seni rupa itu. Mereka harus memutuskan yang mana di antara tiga lukisan dan sebuah karya grafis yang patut dipilih sebagai karya terbaik dalam kompetisi Indonesia Art Award 2010.

Para ahli itu adalah juri kompetisi tersebut, yakni Jim Supangkat, Asmudjo J. Irianto, Suwarno Wisetrotomo, Rizki A. Zaelani, dan Kuss Indarto. Mereka sudah saling kenal dan sering menjadi kurator pameran seni rupa kontemporer.

Mereka “bersidang” di tengah 93 karya finalis yang dijejerkan di Ruang Serba Guna di belakang Gedung A Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, Rabu tiga pekan lalu. Mereka memberikan penilaian terhadap satu karya, lalu pindah ke karya berikutnya. Tapi, ketika sudah sampai di ujung deretan, mereka kadang balik ke karya pertama bila merasa perlu mempertimbangkannya kembali. Berbagai istilah berlontaran di antara mereka: contemporaneity, konteks persoalan, moralitas, tanda-tanda, representasi, dan seterusnya.

Ketua tim juri, Jim Supangkat, membantah adanya perdebatan keras, tapi mengakui perdebatan itu ada. “Jurinya ada lima dan punya pendapat sendiri-sendiri. Namun, dalam penyeleksian itu, juri biasanya punya pendapat berbeda tentang karya bagus, tapi punya pendapat yang sama untuk karya jelek,” katanya.

Menurut sumber Tempo, para juri dengan mudah bersepakat memilih patung Presiden Amerika Serikat Barack Obama naik becak karya seniman Yogyakarta, Wilman Syahnur, dan The Good, The Bad, and The Restless karya Erwin Windu Pranata dari Bandung sebagai karya terbaik. Keduanya adalah karya tiga dimensi yang sudah dipajang di beberapa pameran. Tapi tak semua satu suara dalam perkara lukisan. “Empat juri mendukung, tapi satu juri kurang setuju,” katanya.

Lukisan seakan menjadi anak tiri dalam wacana seni rupa kontemporer, yang didominasi karya tiga dimensi dan media baru, seperti seni video dan instalasi. Lima karya pilihan juri Indonesia Art Award 2008 juga tak menyertakan satu pun lukisan dua dimensi. Bahkan hasil penjurian dua tahun lalu itu juga kontroversial karena juri memutuskan tak ada pemenang dalam kompetisi.

Tim juri kompetisi tahun ini menghadapi masalah ini. “Pemungutan suara” tak resmi dilakukan melalui perdebatan, yang bergeser dari masalah medium ke batasan makna kontemporer, yang kemudian menjadi tema pameran. Setelah berdebat sehari penuh, akhirnya mereka sepakat memasukkan lukisan Teater dari Saluran 99 karya Tatang Ramadhan Bouqie dari Jakarta sebagai satu dari tiga karya terbaik. Setiap seniman yang terpilih menerima hadiah Rp 50 juta.

Para juri sepakat bahwa kelebihan karya Tatang adalah ukurannya yang besar, 2 x 12 meter. “Dalam melukis, membuat karya besar itu butuh napas panjang, karena menjaga kontinuitas itu tidak gampang,” kata Jim.

Karya besar itu dibagi dalam empat panel, yang setiap panelnya menampilkan berbagai obyek dan sosok yang berbentuk dan berkelakuan ganjil. Beberapa tokoh populer muncul pula di sana, seperti Elvis Presley dan Marilyn Monroe. Tapi di setiap panel ada manusia putih bertotol-totol hitam, yang seakan menjadi pemeran utama ceritanya. “Ada situasi yang secara tak langsung kita tangkap sebagai situasi yang agak chaos di situ,” kata Asmudjo.

Semua karya finalis itu kini dipajang dalam Biennale Indonesia Art Award 2010 Contemporaneity di Galeri Nasional Indonesia hingga 27 Juni. Dalam pembukaan pameran pada Kamis dua pekan lalu, Jim mengumumkan penegasan bahwa pameran yang digelar rutin oleh Yayasan Seni Rupa Indonesia pimpinan Miranda S. Goeltom ini merupakan biennale atau pameran seni rupa dua tahunan.

Tim juri mengakui tak semua karya yang masuk sesuai dengan harapan, karena seleksi awal mereka terhadap 1.300 karya yang masuk bukan dengan melihat karya sebenarnya, melainkan hanya berdasarkan foto dan catatan sang seniman. Walhasil, ada karya yang di foto bagus, tapi ternyata tak demikian dengan bentuk aslinya. “Yah, sekitar 70 persen dari karya itu sudah baik. Tapi ada 20-30 persen yang kecelakaan,” ujar Jim.

Para juri terutama memuji patung Obama karya Wilman yang berjudul Membuat Obama dan Perdamaian yang Dibuat-buat itu. “Karya Wilman itu sudah mendapat pengakuan publik, jadi karya itu sudah memiliki kekuatan. Saya kira sulit kalau kita menyangkalnya,” kata Jim.

Karya itu berupa patung Obama berjas hitam, terbuat dari polyesterin resin. Sambil tersenyum lebar, dia duduk di atas becak berbendera Abang Sam. Pada spatbor becak itu terpajang berbagai coretan, seperti “Save Gaza Street”, “Save Iraq”, dan “Yes U Can”.

Karya ini memang menjadi buah bibir sejak pertama kali dipamerkan di Biennale Jogja X, tahun lalu. Pada saat itu, Wilman, sang penciptanya, mengayuh becak tersebut dari Taman Budaya Yogyakarta menuju Jogja National Museum. Becaknya terguling dan kaki “Obama” patah. Wilman lantas membawa “Obama” ke Rumah Sakit PKU Muhammadiyah.

Foto “Obama” di depan rumah sakit Islam itu membuat heboh dan dikutip berbagai media nasional dan asing. Popularitas “Obama” terus menanjak ketika dipajang dalam sebuah festival seni di Plaza Indonesia, Jakarta, dan menjadi karya yang paling ramai dikerubungi penonton.

Ketika dipamerkan di Galeri Nasional, karya itu juga menjadi favorit para pengunjung. Orang antre untuk berfoto bersama “Obama”. Bahkan Asmudjo, salah satu juri, diseret beberapa temannya untuk berfoto bersama.

Asmudjo menimbang karya seni rupa kontemporer sebagai kesenian yang menyusup dan merepresentasikan setiap aspek dan persoalan masyarakat global masa kini. Patung Obama, katanya, mengandung banyak lapisan makna dan sebenarnya juga sebuah kritik. “Karya ini sangat sadar akan gejolak politik global. Selain itu, interaksi orang dengannya juga sangat menarik,” katanya.

Adapun Jim mengajak publik mendiskusikan kembali apa itu contemporaneity atau kesezamanan dalam wacana seni rupa kontemporer dengan mencari tanda-tandanya. Hal ini, kata dia, berkaitan dengan seniman karena setiap seniman adalah produk dari zamannya.

Sementara karya Wilman merupakan pengaruh kondisi sosial-politik terhadap seniman, karya Erwin Windu Pranata merupakan pengaruh kondisi teknologi. Karya itu berupa dua kapsul besi setinggi setengah meter dengan sebuah lubang yang di dalamnya terdapat sebuah video kecil yang menampilkan rekaman ekspresi wajah sang seniman. Satu kapsul tampak mulus dengan video hitam-putih yang menayangkan ekspresi wajah riang dan jail. Kapsul lain kusam dan seakan berkarat dan menampilkan video berwarna dengan ekspresi yang ganjil, seakan-akan heran.

Sebagai ajang kompetisi, pameran ini jelas sulit menyajikan karya-karya seni rupa kontemporer Indonesia karena tak semua seniman mau berpartisipasi. Para seniman yang sudah punya nama, kata Jim, tak merasa perlu ikut kompetisi karena karyanya sudah dikenal atau takut kalah dalam lomba ini.

Akibatnya, kata Rizki, banyak segi dari seni rupa kontemporer di luar sana yang belum terwakili di sini. Dia mengusulkan nantinya ajang ini mengundang seniman tertentu untuk berpameran di luar kompetisi.

Kurniawan

(diunduh dari http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2010/06/28/SR/mbm.20100628.SR133913.id.html)


Leave a comment

Wajah Seni Kontemporer Kita

Minggu, 27 Juni 2010 | 04:19 WIB

Ilham Khoiri

Pameran Biennale Indonesia Art Award 2010 digelar di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, 17-27 Juni. Dengan mengangkat tema ”Contemporaneity,” karya para finalis kompetisi ini diharapkan bisa menggambarkan wajah seni rupa kontemporer kita.

Patung Presiden Amerika Serikat (AS) Barack Obama duduk dengan kaki menyilang di atas becak. Berjas dan kemeja rapi, dia tersenyum lebar. Dua jari tangan kanan teracung membentuk simbol perdamaian.

Becak itu dihiasi dua bendera kecil AS. Bagian depan becak digantungi papan kecil bertuliskan ”Campaign for”. Penutup rodanya digambari beberapa catatan: ”Viva Afganistan, Viva Paletina, Save Iraq. Yes U Can.”

Patung di atas becak di teras depan Galeri Nasional itu gampang menyedot perhatian. Selain sosoknya populer, kehadiran Obama di atas becak dengan beberapa tulisan itu memang menggoda.

Ada apa dengan presiden kulit hitam pertama AS itu? Apa kaitannya dengan tragedi kemanusiaan dalam perang di Irak, Afganistan, Palestina, Gaza? Mungkinkah karya ini menyentil kontroversi Nobel Perdamaian yang dianugerahkan ketika dia baru saja menjabat presiden?

Berbagai pertanyaan tadi mudah mengusik kita saat mengamati karya Wilman Syahnur, seniman asal Yogyakarta. Apalagi, judul karya ini juga menggelitik: ”Membuat Obama & Perdamaian Dibuat-buat”.

Karya ini terpilih sebagai salah satu dari tiga karya terbaik pemenang Indonesia Art Award (IAA) 2010. Dua karya lain: lukisan ”Teater Dari Saluran 99” karya Tatang Ramadhan Bouqie dari Jakarta dan instalasi ”The Good, The Bad and The Restless” karya Erwin Pandu Pranata dari Bandung.

Tatang melukis pergulatan sosok-sosok manusia dengan bentuk mengerikan dalam kanvas panjang, berukuran 2 meter x 12 meter. Ada yang mirip binatang, seperti singa, zebra, serigala. Ada juga yang mirip badut, setan, atau perpaduan bentuk yang ganas.

Erwin mengusung dua buah kapsul dari besi. Di dalamnya ada video yang mempertontonkan wajah seniman ini dalam dua versi berbeda.

Ketiga karya tadi terpilih dari 94 karya finalis, hasil seleksi dari total 1.200 karya yang masuk dalam kompetisi. Tim juri terdiri dari lima orang: Jim Supangkat (sebagai ketua), Asmudjo J Irianto, Suwarno Wisetrotomo, Rizki A Zaelani, dan Kuss Indarto. Bersama para pemenang, karya-karya finalis juga dipajang.

Kontemporer

Dalam katalog pameran, tim juri tak menjelaskan secara rinci kenapa mereka memilih tiga karya tersebut. Mereka lebih sibuk mengulas soal ”Contemporaneity” sebagai tajuk pameran ini.

Jim Supangkat, misalnya, menampilkan problematik istilah global contemporary art untuk menggambarkan seni rupa kontemporer dunia. Istilah ini mengacu pada tanda-tanda global yang bersifat lebih terbuka, temporal, dan beragam.

Asmudjo menjelaskan konteks seni rupa kontemporer di Indonesia. Kekontemporeran di sini dikaitkan dengan sejauh mana seniman memandang dan menilai kondisi dan situasi dunia saat ini dan bagaimana pandangan itu berpengaruh pada karya. Semangat itu diterapkan lewat produksi citraan seperti fotografi, penggunaan media baru, dan sikap moralis yang membela kepentingan publik.

Tim juri tak secara jelas mengaitkan kajian soal kekontemporeran itu dengan karya-karya peserta kompetisi. Jika merujuk pada tema kontemporer, semestinya ketiga karya terbaik tadi dianggap paling mewakili semangat kontemporer. Hanya saja, dengan argumentasi yang minim, pilihan itu mengundang rasa penasaran.

Jika kekontemporeran ditandai sebagai respons seniman pada situasi global, patung Obama naik becak memang cukup relevan. Seniman asal Yogyakarta bereaksi terhadap anugerah Nobel Perdamaian bagi presiden AS itu. Sebagai bahasa lokal yang dibenturkan dengan problem internasional, becak tadi juga hadir secara provokatif.

Lalu, di mana kekontemporeran lukisan karya Tatang dan instalasi Erwin? ”Lukisan itu memperlihatkan hasrat bertutur yang besar dan panjang. Instalasi kapsul memainkan kode-kode menarik dan menggunakan teknologi yang tampak seperti canggih,” kata Suwarno Wisetrotomo, salah satu tim juri, dalam perbincangan.

Menurut Aminuddin Th Siregar, pengamat seni rupa dari Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB Bandung, kekuatan pilihan bahasa visual naif Tatang atau bentuk kapsul Erwin masih bisa diperdebatkan. Sebagai karya seni, pernyataan dua karya tadi kurang menggedor, termasuk jika dibandingkan dengan karya-karya finalis lain. Saat bersamaan, penataan pameran juga kurang mampu mengajak pengunjung untuk segera menangkap makna kekontemporeran.

Pameran IAA 2010 juga punya persoalan dengan display atau penataan karya. Sebagian karya dipasang di ruang pamer utama Galeri Nasional. Sebagian lagi dijejalkan di koridor hingga ruang belakang.

Penataan semacam itu terasa mengganggu. Selain menyulitkan pengunjung menikmati karya seni, sebagian karya tampak disekap atau diselipkan dalam ruang yang sempit dan gelap. Akibatnya, daya gugah karya jadi berkurang.

Instalasi patung manusia mini yang dirakit jadi ayunan karya Muhammad Yusuf Siregar, umpamanya, dicantolkan begitu saja di ruangan kecil di dekat toilet. Patung Venus bersayap dari kawat berduri karya Khusna Hardiyanto digantung di lorong yang sesak. Ah, mungkinkah tim juri juga kurang matang memperhitungkan jumlah karya dan kebutuhan ruang?

(diunduh dari http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/06/27/04191473/wajah.seni.kontemporer.kita)

1 Comment

Kehamilan Logam Berkarat

21 Juni 2010

Nyambung sik,” kata perupa Teguh Ostenrik kepada Purwanto, tukang las di bengkel pabrik Niko Steel di Cikupa, Tangerang, Banten. Purwanto lalu mengangkat pelat-pelat besi berkarat yang membentuk tempurung besar itu dengan bantuan derek listrik. Pelan-pelan “tempurung” tersebut ditempelkan dan dilas ke pelat-pelat besi lain yang menjadi kaki-kaki dari sebuah patung perempuan hamil.

Teguh menambahkan pelat-pelat besi seukuran telapak tangan untuk menyempurnakannya. Bahkan satu dari delapan patung yang sudah jadi itu dibongkar dan dipasang lagi pada akhir Maret lalu karena Teguh merasa kurang sreg. “Saya memperhatikan gesturnya,” kata seniman yang sudah 40 kali lebih berpameran solo di berbagai negara sejak 1977 ini.

Patung-patung Teguh itu memanfaatkan besi bekas silinder mesin pabrik yang dipotong menjadi pelat-pelat persegi berbagai ukuran. Seniman yang mencetuskan gerakan “seni dan lingkungan” ini sudah lama mengolah limbah menjadi karya seni. Tahun lalu ia mengolah besi bekas menjadi beragam bentuk wajah rusak dalam pameran deFACEment. Pada 1993, bersama seni man Bali, dia membangun piramida dari plastik bekas setinggi 5 meter.

Kali ini alumnus jurusan seni murni di Hochschule der Kuenste, Berlin Barat, Jerman, itu menciptakan 10 patung besi dalam pameran Linea Nigra di CGartspace, Plaza Indonesia, Jakarta, 12-22 Juni. Pameran ini disertai 11 lukisannya yang bertema sama. Linea nigra adalah istilah dalam bahasa La tin untuk garis gelap dari tengah perut sampai ke bawah yang muncul pada saat kehamilan.

Kurator pameran, Chris Kerrigan, menyatakan Teguh mengabadikan perempuan sebagai wadah dari kekuatan yang luar biasa lewat patung besi. Namun, kata dia, ada kerumitan dalam pemanfaatan materi yang abstrak dan bertentangan semacam ini untuk menggambarkan kelembutan perempuan hamil.

Semua patung membentuk sosok perempuan hamil yang diwakili bentuk perut buncit dan sebagian paha. Warna cokelat karat pada patung itu akibat terkena panas dan hujan serta dibantu zat kimia untuk mempercepat oksidasi. Teguh mempertahankan kekaratan ini untuk memperoleh warna cokelat alami warna bumi perlambang perem puan sebagai ibu pertiwi.

Semuanya tanpa kepala (termasuk lukisannya), yang disengaja Teguh agar perhatian orang terpusat pada perut, yang juga membuat karya ini menjadi abstrak dan mengaburkan identitasnya. Perbedaannya hanya pada ge rakannya: ada yang sedang duduk, berdiri, dan mencondongkan badan ke kiri. Ukurannya besar-besar. Yang terbesar, Little Bundle of Joy, setinggi 2,5 meter lebih dan beratnya 300 kilogram lebih, diletakkan di antara dua eskalator di lantai satu mal tersebut. Patung-patung lain disebar di tiga lantai mal.

Punggung patung itu dibiarkan kosong. “Secara estetik saya ingin membuat bentuk cekung dan cembung,” kata Teguh. Dari sisi depan, orang akan melihat kecembungan tubuh wanita yang sedang hamil. Dari sisi belakang, bentuk itu jadi cekung, “Karena ibu kan selalu membuat kecekungan supaya si anak nyaman,” katanya, merujuk pada posisi ibu yang menimang bayinya.

Karya-karya Teguh ini memang diilhami pengalamannya menyaksikan istrinya, Mira Tedja, hamil tiga dan dua tahun lalu untuk melahirkan Pasola dan Nalini. Saat kehamilan Mira, Teguh membuat beberapa sketsa yang belakangan diselesaikannya menjadi lukisan yang kini dipamerkan.

Lukisan-lukisan itu menggambarkan kecemasan dan ketegangan perempuan hamil yang menanti kelahiran si jabang bayi. Dalam Get an Hour or Two, misalnya, Teguh menggambarkan perempuan yang mengelus perut buntingnya dalam kombinasi warna merah, kuning, dan ungu. Dia menempelkan kertas-kertas ke kanvas, sehingga sapuan cat di atasnya membuat tekstur kertas muncul.

Pameran Teguh kali ini terkesan lebih serius dan personal. Tak terlihat sen tilan humor yang dulu sering menyeruak di antara karyanya. Yang do minan adalah keintiman yang pekat antara seorang perupa dan subyeknya, antara seorang suami dan istrinya.

Kurniawan

(diunduh dari http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2010/06/21/SR/mbm.20100621.SR133845.id.html)


Leave a comment

Kolektor Seni Rupa Angkat Bicara

oleh Argus Firmansah

ARTSociates kembali menghadirkan karya-karya terbaik dari babakan seni rupa kontemporer Indonesia melalui program pamerannya yang ketiga bertajuk “The Collectors’ Turn” di Lawangwangi Art and Science Estate, Dago-Bandung mulai tanggal 12 Juni hingga 25 Juni 2010.

Kali ini Asmudjo Jono Irianto menjadi kurator pameran tersebut. Asmudjo memilih sejumlah karya-karya dari Agus Suwage, Dede Eri Supria, Dikdik Sayahdikumullah, Entang Wiharso, Galam Zulkifli, Handiwirman Saputra untuk dihadirkan di ruang pamer Lawangwangi. Sekaligus penguatan wacana seni rupa kontemporer Indonesia saat ini yang didukung oleh peranan positif para kolektor seni rupa Indonesia. Dan Para kolektor yang meminjamkan koleksinya untuk dipamerkan adalah Eddy Hartanto, Gunawan Setokusumo, Brenny van Groesen, Oei Hong Djien, Wiyu Wahono, dan Simon Tan.

Pembukaan pameran oleh Oei Hong Djien menjadi penanda penting mengenai posisi kolektor yang dianggap paling penting ketimbang senimannya sendiri. Wacana ini dikuatkan oleh pernyataan Oei Hong Djien setelah Asmudjo mengatakan bahwa peran yang paling penting atau bintang dalam seni rupa kontemporer adalah kolektor.

“Memang ada benarnya bahwa saat ini yang paling penting adalah kolektor. Tanpa kolektor seniman bisa pindah profesi,” kata Oei Hong Djien.

Usai mengapresiasi karya seniman milik kolektor yang disajikan para hadirin yang terdiri dari seniman, publik pecinta seni dan beberapa kolektor muda berbakat yang berlatar belakang investor itu mengikuti sebuah diskusi santai bersama Oei Hong Djien, Wiyu Wahono dengan moderator sang kurator dari FSRD ITB. Ada wacana menarik selain kisah singkat pengalaman Oei Hong Djien dan Wiyu Wahono sebagai kolektor yang dianggap cukup penting. Bahwa menurut pengakuan mereka seorang kolektor saat ini tidak berorientasi pada trading atau perdagangan atau cari untung saja.

Baik Oei Hong Djien atau Wiyu Wahono memiliki visi mempromosikan karya seniman atau perupa Indonesia ke Eropa dan Amerika dengan modal kekuatan seniman melalui karyanya di kawasan Asia Tenggara. Dua kolektor ini mengaku bahwa mengoleksi karya seni rupa berdasarkan passion dan budaya–seperti etika kolektor di Jerman yang dikutip Wiyu Wahono sebagai rujukan.

Praktik mengoleksi karya seni rupa Indonesia masih belum pada tingkatan passion atau culturally, karena menurut Wiyu Wahono, kolektor muda di Indonesia adalah para investor yang masih harus belajar banyak mengenai metoda dan tujuan mengoleksi karya seni rupa. Hal itu diakui Wiyu Wahono setelah mengungkapkan sejumlah praktik mengoleksi seni rupa kontemporer di Indonesia belakangan ini. Kenyataan ini pula yang akhirnya menjerumuskan beberapa seniman atau perupa muda yang terjun dalam mainstream seni rupa kontemporer Indonesia beberapa tahun terakhir. Bahwa balai lelang yang dijadikan referensi harga oleh para kolektor yang notabene investor menjadi itu pembenaran modus investasi dan praktik advertisement versi kolektor di Indonesia. Padahal mungkin semua mengetahui berapa banyak karya seni lukis palsu buah tangan pelukis maestro Indonesia turut dilegalkan atas nama keuntungan ekonomis.

Oei Hong Djien dan Wiyu Wahono memprihatinkan praktik perdagangan karya seni rupa belakangan ini yang justru bertujuan keuntungan ekonomi. Wiyu Wahono mengeluarkan 3 pra-kondisi seni rupa kontemporer. Pertama, seniman atau perupa harus konsisten. Kedua, karyanya harus dikoleksi oleh kolektor tertentu (tanpa penjelasan rinci kolektor itu siapa atau yang seperti apa mengoleksinya). Ketiga, harga di balai lelang (auction) itu menjaga harga suatu karya seni rupa.

Pada praktiknya, pra-kondisi yang kedua dan ketiga itulah yang banyak masalah. Bahwa kriteria kolektor yang baik di Indonesia sekarang masih samar antara pedagang (art dealer) dan kolektor yang memang mengoleksi untuk tidak dijual. Serta masih pada tingkatan belajar bagaimana melakukan praktik mengoleksi karya seni rupa. Juga balai lelang seringkali melegalkan praktik lelang lukisan palsu dan atau menjatuhkan harga sebuah lukisan karya seniman yang sudah senior –seperti yang dialami oleh lukisan-lukisan Jeihan Sukmantoro.

Walhasil, karya-karya yang dipamerkan memang cukup penting mewakili praktik seni rupa kontemporer versi seni rupa Indonesia. Terlepas dari persoalan baik atau buruknya praktik promosi dan ‘dongkrak’ harga karya-karya oleh para kolektor-investor. Yang menjadi catatan dalam akhir sesi diskusi santai itu adalah bagaimana peranan penting kolektor dalam seni rupa kontemporer Indonesia dapat mendorong promosi karya seni rupa Indonesia di Asia Pasifik dan Eropa. Sehingga pemerintah mau mendukung secara nyata seni rupa Indonesia melalui program-program positif bagi seniman dan kolektor.

Pada program pameran itu posisi seniman memang tidak dianggap penting, karena yang penting adalah kolektor dalam situasi sekarang. Itu sebabnya seniman-seniman yang karyanya dipamerkan oleh kolektornya masing-masing tidak hadir dalam pembukaan pameran. Oei Hong Djien sebagai kolektor senior dan Asmudjo sebagai kurator seni rupa kontemporer pada malam pembukaan memang secara tegas menyatakan hal itu. Setelah era 1990-an peran kurator sangat penting dan saat ini peran penting itu didapuk oleh kolektor. Bagaimana nasib dan takdir seni rupa kontemporer Indonesia ke depan? Tak ada satu kolektor pun yang menjawabnya oleh karena para kolektor pada praktiknya tetap bertujuan mencari untung dengan berbagai cara masing-masing. ***

*) Argus Firmansah, kurator independen dan fotografer

(diunduh dari http://indonesiaartnews.or.id/newsdetil.php?id=89)

2 Comments

Mimpi Dua Italia di Ranah Grafis

UNTUK menikmati sebuah karya seni, terkadang kita menuntut bentuk utuh yang harmonis. Tapi, dalam karya grafis, kata kurator seni Achille Bonita Oliva, kita justru diajak menikmati ketidakutuhan itu. Maka, ketika menyaksikan karya seniman Lucio Fontana, alam imajinasi kitalah yang berbicara.

Dibuat pada 1968, karya berjudul Senza Titolo (Suite of Six) itu menyajikan gambar lingkaran besar hitam di atas kertas putih. Lingkaran hitam besar itu terpotong guratan-guratan tipis memanjang. Tonjolan dan lubang-lubang kecil bekas cukilan tampak mengitarinya.

Pengalaman serupa kita rasakan ketika melihat karya Alberto Burri, yang diciptakannya pada 1965. Melalui karya bertajuk Combustione 2, Burri menyajikan efek kertas dengan lubang besar kehitaman bekas terbakar di bagian tengahnya. Pada zamannya, ini eksperimen yang sangat berani.

Dua karya seniman Italia yang dipamerkan di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, pada 4-24 Juni itu mengawali sejarah berkembangnya seni grafis di Italia. Karya itu sekaligus menandai eksisnya percetakan 2RC di Roma, yang didirikan dua saudara Valter dan Eleonora Rossi serta sepupu mereka, Franco Cioppi, pada 1959. Niat mendirikan percetakan didasari keyakinan bahwa seni grafis sesungguhnya adalah satu cabang seni rupa seperti halnya seni lukis atau seni patung. Mereka bermimpi membuat percetakan itu sebagai bengkel kerja yang tak cuma bisa mengembangkan beragam teknik grafis, tapi juga memberikan kebebasan kepada para seniman untuk menuangkan ide-ide gila mereka.

Pendekatan Lucio Fontana terhadap penggunaan material, pemotongan, dan pelubangan pada lembaran linoleum, mewakili bentuk percobaan konsep-konsep ruang yang baru. Begitu pula dengan karya Alberto Burri, yang sudah beberapa kali dicetak ulang sejak 1962 hingga 1983. Efek terbakar diciptakan dengan menggunakan asam plastik transparan dan warna-warna beragam. Lewat karya ini juga diperkenalkan material cretti (celah pada permukaan lukisan) di atas kertas melalui teknik grafir (engraving) dan aquatint (menggunakan asam untuk mencetak) yang terperinci dan tak lazim. “Ini adalah grafir yang paling mendekati lukisan, bahkan hampir menimbulkan kerancuan,” tutur Vittorio Rubio, salah seorang seniman Italia.

Tak mengherankan bila kemudian banyak seniman yang tertarik berkolaborasi dengan percetakan ini. Selain Fontana dan Burri, selama kurun 1962 hingga 1969, sejumlah seniman turut mencetak karyanya bersama 2RC. Gio Pomodoro, Giuseppe Capograssi, Piero Dorazio, Pietro Consagra, Achille Perilli, dan Adolph Gottileb adalah beberapa di antaranya. Belakangan, pada 1969, UNESCO menugasi Rossi bersaudara untuk membuat karya grafis dan berkolaborasi dengan berbagai seniman ternama di dunia.

Dari situlah mimpi mereka untuk bekerja sama dengan seniman kelas dunia seperti Eduardo Chililda, Arnaldo Pomodoro, Victor Pasmore, Louse Nevelson, dan Pierre Alechinsky terwujud. Konsep 2RC selanjutnya berubah, bukan lagi seniman yang pergi ke percetakan, melainkan percetakanlah yang mendatangi kediaman para seniman. Maka menjelajahlah Rossi dari Roma, Bodrum (Turki), Menton (Prancis), Palma di Majorca (Spanyol), hingga Los Angeles, Point Race, dan New York, (Amerika Serikat). Kemampuan mereka memproduksi seni grafis dalam format dan teknik yang tak umum juga menarik perhatian kolektor pribadi dan museum.

Karya fantastis hasil kolaborasi para seniman dan dua maestro percetakan Italia itulah yang bisa kita saksikan di ruang pamer Galeri Nasional. Pameran ini merupakan bagian dari rangkaian pameran bertajuk Doppio Sogno dll’Arte-2RC tra artista e artefice (Mimpi Ganda Sebuah Seni-2RC antara Seniman dan Pencipta). Sejak 2007, pameran ini telah bergulir di Eropa (Tirano, Italia; Moskow, Saint Petersburg, Rusia; Beograd, Serbia); Amerika Serikat (Chicago, Indianapolis, San Francisco), dan Asia. Pada 2009 pameran ini singgah di Beijing (Central Academy of Fine Arts), Shenyang (Luxun Academy of Fine Arts), dan di Seoul (Museum of Art, sampai April 2010).

Selain Galeri Nasional, pameran digelar di Selasar Sunaryo Art Space, Bandung (29 Mei-22 Juni 2010), dan Sangkring Art Space, Yogyakarta (11-20 Juni 2010). Tak kurang dari 145 karya grafis-termasuk etsa, aquatint, litografi, serta embossing-dan delapan piringan tembaga akan dipamerkan di tiga tempat itu: History, berisi karya para seniman yang mewarnai sejarah awal 2RC di Galeri Nasional; The Avant-Garde, menampilkan karya-karya seniman yang menghidupkan semangat avant-garde di Selasar Sunaryo Art Space; dan The American and British Artist, berupa karya seniman Amerika dan Inggris di Sangkring Art Space. “Untuk mendapat gambaran menyeluruh, Anda harus melihat pameran di tiga kota itu,” ujar Duta Besar Italia Roberto Palmieri.

Melalui pameran yang digelar Kedutaan Besar Italia bekerja sama dengan Kamar Dagang Italia, Pusat Kebudayaan Italia, dan Biasa Artspace itu, petualangan 2RC dipaparkan dengan ideal. Berawal dari pembakaran dan cretti Alberto Burri yang dipamerkan di Jakarta, beralih ke bentuk biologis yang ditawarkan Victor Pasmore atau figur-figur Henry Moore dan potret George Segal yang ditampilkan di Yogyakarta, hingga Transavanguardia karya Enzo Cucchi dan Francesco Clemente yang ditampilkan di pameran di Bandung.

Pameran yang dikurasi Achille Bonito Olivo-kritikus seni grafis dan profesor sejarah seni terkemuka Italia-itu memberikan pengalaman visual yang mengilustrasikan penelitian kolaboratif yang dilakukan oleh studio percetakan seni 2RC. “2RC tidak hanya sebagai tempat produksi, tapi juga sebagai tempat kreativitas sang seniman dan maestro grafir bersatu padu,” kata Livia Raponi dari Institut Kebudayaan Italia, Jakarta.

Pameran seni grafis ini mengajak kita menyusuri kembali sejarah seni kontemporer, khususnya seni grafis, sejak setengah abad lalu. Kata Achille Bonito Olivo, sang kurator, “Karya-karya yang dipamerkan mewakili pusat pertemuan sejarah seni kontemporer dari 1960-an sampai hari ini. Sebuah tradisi kreativitas Italia.”

Nunuy Nurhayati

(diunduh dari http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2010/06/14/SR/mbm.20100614.SR133783.id.html)


Leave a comment

Menyoal Hegemoni Pasar

PASAR adalah implikasi dari tindakan mengonsumsi. Begitu semestinya. Pasar, dalam pengertian semacam itu, merupakan akibat dari adanya pertemuan antara penawaran dan permintaan yang mendasar pada kebutuhan. Dalam pemahaman inilah pasar bukanlah sesuatu yang diniatkan karena memang penawaran dan permintaan merupakan dua hal yang sudah menjadi niscaya. Hanya, lain perkaranya ketika penawaran dan permintaan itu timbul karena kebutuhan yang diciptakan oleh pasar itu sendiri. Pasar telah mengubah kebutuhan menjadi keinginan untuk sekadar mengonsumsi tanpa pemahaman yang lebih jauh ihwal sesuatu yang dikonsumsi itu.

Pasar akhirnya dipenuhi oleh berbagai kepentingan yang serbapragmatis. Produksi, distribusi, dan konsumsi tidak lagi menjadi elemen-elemen yang membentuk pasar, melainkan ketiganya dibentuk oleh pasar. Di dalam pasar semacam ini, seluruh infrastruktur dikondisikan, bahkan dikendalikan oleh sejumlah kepentingan yang melulu mencari untung. Pragmatisme dan mencari untung tampaknya memang telah menjadi tabiat pasar. Akan tetapi, ketika keduanya melulu menjadi tujuan, pasar telah berubah menjadi panglima. Ia telah menjadi sebuah hegemoni yang menggerakkan produksi, distribusi, konsumsi, dan segenap infrastruktur di dalamnya, menjadi demikian dangkal. Terlebih pasar itu menautkan dirinya pada apa yang disebut dengan karya seni.

Inilah pasar yang membayangi perkembangan mutakhir seni rupa Indonesia. Pasar yang menjadi panglima dan hegemoni di tengah kondisi medan sosial seni yang tunaacuan. Museum, galeri, balai lelang, seniman, kurator, kritikus, kolektor, media, berada dalam situasi yang tumpang tindih. Pragmatisme galeri komersial, balai lelang yang dianggap main serobot, kurator yang gagal yang melihat kelebihan seniman karena lebih asyik dengan berbagai teori, seniman yang gagap mengartikulasikan kesenimanannya, dan snobisme para kolektor yang mengoleksi berbagai karya hanya karena telinga ketimbang menggunakan mata.

Demikian sekelumit perbincangan yang mengemuka dalam dua sesi diskusi “Seni Rupa Indonesia Dalam Hegemoni Pasar” di Platform 3 Bandung, Jumat (11/6). Diskusi ini menghadirkan pembicara Edwin Rahardjo dari Edwin`s Gallery, Amalia Wirjono (Balai Lelang Cristie`s), Heri Dono (seniman), Hendro Wiyanto (kurator), dengan moderator Agung Hujatnikajenong.

Meski masih menyoal perkara lama, diskusi ini menarik bukan karena menghadirkan dua pembicara yang dianggap sebagai representasi dari dua institusi yang selama ini saling berhadapan dalam pasar seni rupa Indonesia, yakni, galeri dan balai lelang. Namun, diskusi yang dihadiri oleh seniman dan para kolektor ini mengemuka dalam berbagai lalu lintas pemikiran yang saling bersilangan, seraya mencoba mengurai antara kondisi yang ideal dan kenyataan yang berlangsung.

**

DENGAN pembicara Edwin Rahardjo dan Amalia Wiyanto, sesi pertama membawa diskusi pada kenyataan yang terjadi dalam ruang-ruang infrastruktur seni rupa. Dari mulai balai lelang, galeri, hingga kolektor. Sesi ini menarik karena menghadapkan dua institusi yang dalam pasar seni rupa Indonesia diam-diam menjadi kompetitor. Booming pasar seni rupa Indonesia yang menggiurkan, dianggap telah membuat sejumlah balai lelang bermunculan. Dan watak apresiasi suatu karya di balai lelang cenderung tidak pada kualitas karya, melainkan pada siapa yang meminatinya. Harga amat ditentukan oleh apresiasi publik, bukan oleh kualitas karya itu sendiri. Kondisi ini diperparah oleh minimnya tingkat apresiasi para kolektor sehingga mereka mengoleksi suatu karya dengan rujukan pada siapa yang telah mengoleksi karya tersebut.

Kenyataan ini mau tak mau mengganggu fluktuasi harga yang tentu saja membuat tidak nyaman sejumlah galeri. Padahal idealnya galeri merupakan primary market, dan balai lelang adalah secondary market, atau dalam bahasa Edwin Rahardjo hanya menjual barang bekas.

Kondisi infrastruktur semacam inilah yang hendak diurai. Meski sayup-sayup Edwin Rahardjo memandang bahwa balai lelang menyebabkan rancunya standarisasi harga yang melulu berdasarkan apa yang disukai publik, tetapi ia juga menegaskan betapa kondisi yang terjadi demikian tumpang tindih. Jika di negara maju museum merupakan salah satu acuan, maka di Indonesia tak ada acuan yang jelas untuk menilai kualitas sebuah karya. Belum lagi perilaku kolektor di Indonesia juga tak bisa dilepaskan dari masalah pendidikan seni di negeri ini.

“Kendala lain dalam pasar seni rupa adalah minimnya informasi seni, belum lagi kolektor yang belum memiliki tradisi membaca,” ujarnya.

Seolah mengimbangi pandangan Edwin yang mengarah pada kesan bahwa balai lelang telah menjadi sebab kian rendahnya apresiasi para kolektor, Amalia Wirjono menyebutkan bagaimana Cristie`s pernah menghadirkan Tan Boon Hui (Direktur Singapore Art Museum), Patrick Flores (sejarawan seni Filipina), dan Mella Jarsma (seniman). Mereka dihadirkan bukan hanya untuk memperluas jaringan kolektor, tetapi juga mengarahkan para kolektor untuk belajar ihwal perkembangan seni.

Primary market dan secondary market, seperti yang banyak diurai oleh Amalia sebenarnya adalah kategori yang mapan, untuk tidak menyebutnya ideal. Akan tetapi, di Indonesia batasan kedua kategori itu menjadi bias. Museum yang semestinya menjadi acuan nyatanya belum bisa diharap banyak. Dan selama lima tahun terakhir ini pasar seni rupa Indonesia fluktuasinya turut naik karena didorong munculnya berbagai balai lelang. Inilah situasi spesifik yang tidak terjadi di negara lain.

Sejumlah tanggapan pun mengemuka dan saling mengkritisi. Andono, misalnya, melihat bahwa situasi tumpang tindih ini juga terjadi di negara lain. Museum dan bienalle tidak lagi menjadi acuan, tapi telah bergeser ke art fair.

Demikian juga Syafik Sungkar yang mempertanyakan penjelasan Amalia yang menyebut Cristie`s sebagai secondary market, yang pada kenyataannya melelang karya Masriadi yang langsung diambil dari senimannya. Sementara Rudi St. Dharma langsung mempertanyakan posisi hubungan galeri dan balai lelang, antara harmonis dan kompetitor.

Sayangnya, menanggapi pertanyaan tadi, jawaban Amalia terkesan normatif. Hal itu bisa dimaklumi karena ia dalam beberapa hal tidaklah sepenuhnya menjadi representasi dari lembaga raksasa seperti Balai Lelang Cristie`s. Ia menyatakan, hubungan galeri dan balai lelang berlangsung baik karena memang begitulah semestinya. “Apakah galeri kompetitor balai lelang? Bukan, karena tugas kami berbeda,” ujarnya.

Dan inilah yang ditampik Edwin dengan menyebut kondisi yang disebut Amalia itu hanya terjadi dalam kondisi yang ideal. “Cuma kita kan sekarang tidak dalam kondisi ideal. Semua sekarang semrawut. Peran galeri pun jadi sulit,” katanya.

**

JIKA sesi pertama menggiring situasi infrastruktur pasar seni rupa pada hubungannya dengan sejarah seni rupa Indonesia, sesi kedua mengemuka dalam perbincangan ihwal hubungan seniman, kurator, dan galeri. Dalam sesi dengan pembicara Heri Dono dan Hendro Wiyono ini terjadi suasana yang saling mengkritisi antara kurator dan seniman. Ini sudah terasa sejak pembicara Heri Dono usai memaparkan pandangannya, yang oleh Hendro Wiyono disebut tak ubahnya dengan artist talk ketimbang berbicara sesuai dengan term of reference diskusi.

Meski setengah berseloroh, Hendro Wiyono mulai melontarkan pandangan-pandangan yang kritis sekaligus provokatif yang diarahkan pada seniman dan galeri. Seraya menyebut pasar bisa mendorong perkembangan lebih jauh, tetapi 99 persen karya seniman Indonesia tidak layak masuk balai lelang.

“Hampir tiap minggu saya terima banyak buku dan majalah balai lelang. Satu dua halaman yang karyanya bagus saya copot, selebihnya saya buang ke tempat sampah,” ujar Hendro yang pemaparannya banyak mengundang gelak tawa.

Pada bagian lain ia mengungkapkan betapa banyaknya seniman di Indonesia yang tidak bisa membuat pernyataan ihwal kerja keseniannya. “Aminuddin TH Siregar pernah mengatakan lima menit ngomong dengan seniman itu sudah membosankan. Saya kira mungkin benar. Coba anda ingat, sebutkan sepuluh pernyataan seniman tentang kerja keseniannya yang bisa diingat di luar kepala. Hampir tidak ada. Seingat saya hanya pelukis S. Teddy yang pernah mengatakan, melukis adalah menggambar yang disederhanakan dan dirumitkan,” tuturnya.

Tanggapan terhadap pemaparan Hendro muncul dari Syafik Sungkar, Adeuw, Carla, dan Edwin yang balik mengkritisi kerja para kurator. Alih-alih mengangkat kelebihan seorang seniman, banyak kurator lebih memamerkan teori-teorinya yang sering tak ada hubungannya dengan karya yang dikurasi.

“Tulisannya di katalog pun akhirnya tidak membuat orang jadi lebih pintar. Coba Anda sebutkan satu saja pernyataan kurator yang bisa kami ingat!” ujarnya yang disambut gelak dan tepuk tangan.

Senada dengan Carla, Syafik Sungkar menyebut pragmatisme curatorial yang diakui Hendro sebagai konsepnya tak lebih dari “penggaringan” curratorial. Tulisan kurator yang membingungkan di katalog justru menimbulkan pertanyaan, yang bodoh galeri atau kuratornya? Sementara Edwin menilai bagaimana sebuah galeri bisa maju jika para kurator sibuk mencari order.

“Kurator tidak mau tunduk pada galeri, begitu juga galeri, tidak akan tunduk pada keinginan kurator,” ujarnya seraya menyebut semua pihak dalam infrastruktur seni rupa Indonesia belum bekerja secara optimal.

Menanggapi “serbuan” itu, dengan tenang Hendro menyatakan, ia tidak bersikap sinis kepada pasar karena pasar bisa dimanfaatkan demi perkembangan seni rupa Indonesia. Akan tetapi, pasar harus tetap dikritisi karena tabiatnya yang pragmatis. Menyitir Mella Jarsma, ia mengatakan seni itu memberi, tidak meminta, tetapi pasar itu meminta dan tidak pernah memberi. (Ahda Imran)***

(diunduh dari http://newspaper.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=144149)

Leave a comment

Sistematika Rupa Made Budhiana

Minggu, 13 Juni 2010 | 04:00 WIB

OLEH WARIH WISATSANA

Bila ingin menyaksikan suatu kejutan visual dan kosa rupa yang sensasional, jangan datangi Maha Art Gallery di Sanur sebulan ini. Di ruang pameran terhampar di dinding sederetan kanvas yang di sana-sini dipenuhi torehan warna serta garis-garis bebas yang seakan begitu saja meluap dari kedalaman.

Garis-garis itu dan segugusan warna yang seolah berdiri sendiri, jika dicermati, akan membawa kita pada suatu pengalaman imajiner yang menyiratkan suasana alam dan wujud visual yang tak dikenal, tetapi terasa akrab, sekaligus imajinatif dan sugestif. Itulah karya-karya Made Budhiana, yang tengah berpameran tunggal mulai 26 Mei hingga 26 Juni 2010, menampilkan 29 lukisan berbagai ukuran, dari periode terdahulu, 1999, hingga yang terkini, 2010.

Berbeda dengan karya-karya perupa Bali umumnya, yang kerap merujuk pada ikon-ikon tradisi serta acuan identitas simbolis yang mengingatkan kita pada warisan kultural Bali, Budhiana hadir dengan suatu ekspresi yang terbilang personal. Meskipun kanvasnya, dalam karya-karya tertentu, dipenuhi oleh aneka unsur garis dan rupa-rupa maya yang tak terduga, tak dengan seketika mengingatkan kita pada suatu memori visual ala lukisan Bali.

Apakah ekspresi bebas nan otonom itu menunjukkan Made Budhiana, pelukis kelahiran Denpasar, 27 Maret 1959, ini tak berpijak lagi pada akar kulturnya? Ataukah karya-karyanya yang tergolong abstrak ini mencerminkan pelakunya semata hanyut terbawa arus seni modern serta kontemporer? Atau tepatkah, seperti disiratkan dalam buku biografi kreatifnya, Crossing the Horizon (Melintas Cakrawala), yang diluncurkan pada acara pembukaan, ditulis oleh Wayan Suardika, Budhiana adalah sosok penjelajah kreatif yang bersiteguh dengan pilihan estetiknya?

Rasionalitas

Memaknai karya-karyanya secara lebih utuh dan juga laku kreatifnya selama ini berbeda dengan anggapan yang mengemuka, nyatalah terbukti bahwa Made Budhiana bukanlah pelukis yang menyandarkan kreasinya terutama pada daya intuitif. Memang bila mengamati satu dua karyanya secara terpisah, seolah garis-garis ciptaannya yang dinamis dan bersifat non repetitif serta nonnaratif itu adalah suatu kespontanan yang memancar begitu saja dari dunia bawah sadarnya. Para pengamat kerap menyatakan hal itu sebagai suatu proses cipta yang khas Timur, sepenuhnya bersifat meditatif, di mana unsur-unsur rasionalitas memainkan peran yang amat minimal, atau dengan kata lain, seolah-olah nirkonsep dan nirpesan atau gagasan.

Namun, bila kita mengamati lebih dalam dan membaca tahapan-tahapan penciptaan Budhiana serta wujud visual yang ditampilkan pada kanvas dua dimensinya selama ini, tak dapat disangkal bahwa lukisan-lukisannya adalah buah penggalian pengetahuan secara sistematis. Pilihan sikapnya untuk undur diri dari Sanggar Dewata Indonesia sedini itu serta selalu menjadikan studio-studio pribadinya sebagai semacam ruang publik, tempat berkumpulnya aneka seniman dan intelektual dari berbagai latar kultur, adalah buah olah kesadarannya bahwa disiplin kreasi seni pada hakikatnya adalah sebentuk kerja laboratorium, di mana penciptaan jauh dari aksi spekulatif, tetapi penuh perhitungan dan pertimbangan.

Tidak mengherankan, meski awalnya berangkat dari pola rerajahan Bali, lukisan-lukisan Made Budhiana mengalami tahapan-tahapan evolusi yang terarah dan terkendali. Pilihan ekspresi abstraknya diraih dan dicapai melalui analisis diri yang intens. Berbeda dengan kebanyakan pelukis Bali segenerasinya, yang meski mengkritisi eksotisme, diam-diam menghadirkan dengan sepenuh sadar kebaliannya serta kerap tergelincir menjadi ekspresi pernyataan identitas yang artifisial, Budhiana kuasa melampaui godaan itu. Seni abstrak ditekuninya dalam rentang periode penciptaan yang terbilang panjang. Hal itu bukanlah kemapanan yang menyiratkan kemandekan, melainkan sebentuk pencapaian bahwa dirinya telah menemukan pilihan bahasa ekspresi yang otentik.

Dalam karya-karya belakangan, misalnya ”Melawan Angin”, atau ”Discussion”, terasa sapuan warna dan garis lebih bebas dan nyata. Ruang-ruang kosong yang dihadirkan menyiratkan bahwa Made Budhiana paham bagaimana ”makna” suatu karya sesungguhnya tidak sepenuhnya hasil olah rupa dari sang kreator, tetapi adalah hasil pertemuan atau dialektika dengan sang pemirsa. Ruang-ruang kosong, yang selalu hadir di antara garis-garis dan gugusan warna, selain merefleksikan kedalaman rasa yang sugestif sekaligus meditatif, juga mengantar imajinasi kita pada pengalaman yang melampaui rupa.

Budhiana memang teguh dengan pilihan bahasa estetiknya. Daya analisisnya yang tajam dan didukung oleh intensitas berkaryanya yang teruji, serta digenapi olah intuisinya yang terarah, mengantar dirinya bukan hanya pada pemahaman, melainkan penghayatan akan sesuatu yang ada di seberang kenyataan, yang bersifat transenden. Ekspresi abstraknya, sebagaimana Wassily Kandinsky, Mondrian atau para pendahulu lainnya, menunjukkan bahwa capaian karyanya adalah buah dari suatu kespontanan yang terlatih.

Warih Wisatsana Penyair Tinggal di Denpasar

(diunduh dari http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/06/13/04001956/sistematika.rupa.made.budhiana)

Leave a comment