Archive for March, 2013

UNDANGAN PAMERAN GALERI NASIONAL INDONESIA, 8–24 MEI 2013

Pameran Nusantara 2013

Pameran Seni Rupa Nusantara 2013

                                 

 TEMA                   :   ”Meta – Amuk”

WAKTU               :    8 – 24 Mei 2013

PERESMIAN      :    Rabu, 8 Mei 2013,  pukul : 19.00  WIB – selesai

Pameran akan diresmikan oleh :

Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Bidang Kebudayaan

TEMPAT             :    Galeri Nasional Indonesia, Jakarta

KARYA               :    Lukisan, Patung, Seni Cetak, Fotografi, Video Art, Object, Instalation Art, Kriya, Drawing.

PESERTA           :     Calon peserta terdiri dari para perupa yang perorangan atau kelompok dari

berbagai  wilayah di Indonesia, berdasarkan proses seleksi tim kurator dan

juga berdasarkan undangan khusus dari pihak Galeri Nasional Indonesia.

TIM KURATORIAL         :  Kuss Indarto   (curator)

Asikin Hasan   (curator)

KOORDINATOR PAMERAN :

Zamrud Setya Negara                 (exhibition coordinator)

Rizki Ayu Ramadhana                 (exhibition coordinator)

Email    : pameran.nusantara2013@gmail.com

Informasi selengkapnya terlampir.

Kuratorial

Pameran Nusantara 2013:

“Meta-Amuk”

SECARA historis, “tradisi” mengritik, atau protes sebagai bagian dari sebuah perlawanan telah muncul sejak lama. Tapa pepe atau bertapa dengan jalan berjemur diri di bawah panas sinar matahari adalah contoh kasus yang pernah terjadi pada zaman Majapahit. Dalam novel “Gajah Mada”, penulis Langit Kresna Hariadi mengisahkan bahwa Raja Majapahit kala itu, Ra Kuti, mendapatkan tampuk kekuasaan dengan cara-cara yang dianggap rakyat tidak sah. Lewat intrik dan jalan kelicikan, Ra Kuti merebut kursi kerajaan dari Raja Jayanegara. Ra Kuti memang bukan orang lama dalam pemerintahan. Dia memiliki jabatan elit di kerajaan, yakni sebagai anggota Dharmaputera.

Kenyataan itu membuat geram rakyat. Selain meraih kekuasaan dengan cara yang tidak sah, kebijakan yang dibuatnya juga merugikan rakyat. Sistem ekonomi kacau balau dan terjadi krisis pangan yang luar biasa. Maka, rakyat memberontak dengan menggelar aksi tapa pepe. Sayang, ketika tapa pepe digelar, Ra Kuti mengerahkan pasukan dan menyapu demonstran dengan kekerasan. Namun sejarah mencatat, tak lama setelah itu, Ra Kuti berhasil digulingkan. Inilah gambaran kecil betapa tapa pepe sebagai bentuk perlawanan rakyat telah ada dalam sejarah kultur demokrasi ala Nusantara.

Tapa pepe ini juga terjadi atau berlanjut sebagai kebiasaan yang muncul di bentang waktu berikutnya dan di kawasan lain, seperti di masa pemerintahan kerajaan Mataram (Islam) hingga pecah menjadi Keraton Surakarta dan Keraton Yogyakarta.

Di Keraton Surakarta dan Keraton Yogyakarta, tradisi dan kegiatan protes tidak hanya dilakukan secara berkelompok, tetapi juga secara perorangan. Tempat untuk menggelar aksi protes pun sudah disiapkan secara khusus. Tempat aksi protes acap kali dilakukan di alun-alun keratin, atau halaman depan istana raja.

Protes ini tidak dianggap “pembangkangan” terhadap raja. Sebab, dengan posisi raja sebagai “pengembang keadilan”—perwujudan Ratu Adil, maka aksi protes atau tapa pepe itu dianggap sah dan diakui sebagai hak dasar rakyat. Menariknya, sekalipun pelaku tapa pepe hanya perorangan, tak jarang raja langsung merespons dengan memanggil dan menanyakan maksudnya.

Selain di Jawa, tradisi protes dan kebebasan berpendapat juga dikenal oleh masyarakat Bugis di Sulawesi Selatan. Sejarawan Bugis, Prof. Dr. Mattulada bahkan mencatat bahwa hak protes dalam masyarakat Bugis sudah diatur dalam sistem dan norma. Salah satu prinsip demokrasi Bugis, yang sudah dijalankan jauh sebelum Eropa mengenal terminologi demokrasi, adalah konsep “kedaulatan rakyat”, seperti tersirat di bawah ini:

Rusa taro arung, tenrusa taro ade,

Rusa taro ade, tenrusa taro anang,

Rusa taro anang, tenrusa taro tomaega.

(Batal ketetapan raja, tidak batal ketetapan adat; Batal ketetapan adat, tidak batal ketetapan kaum; Batal ketetapan kaum, tidak batal ketetapan Rakyat banyak)

Orang Bugis juga sudah mengenal konsep “kemerdekaan manusia” (amaradekangeng). Ini ditulis dengan jelas dalam Lontarak, naskah kuno beraksara Bugis-Makassar. Di situ sudah tertulis prinsip berikut:

Niaa riasennge maradeka, tellumi pannessai:

Seuani, tenrilawai ri olona.

Maduanna, tenriangkai’ riada-adanna.

Matellunna, tenri atteanngi lao ma-niang,

lao manorang, lao orai, lao alau, lao ri ase, lao ri awa.

 

(Yang disebut merdeka (bebas) hanya tiga hal yang menentukannya: pertama, tidak dihalangi kehendaknya; kedua, tidak dilarang mengeluarkan pendapat; ketiga tidak dilarang ke Selatan, ke Utara, Ke Barat, ke Timur, ke atas dan ke bawah. Itulah hak-hak kebebasan)

Dalam pengakuan mengenai “Hak Protes”, masyarakat Bugis sudah mengaturnya dalam sistim adat. Ada lima bentuk aksi protes yang dikenal oleh masyarakat Bugis:

1. Mannganro ri ade’: hak mengajukan petisi atau permohonan kepada raja untuk mengadakan suatu pertemuan tentang hal-hal yang mengganggu kehidupan rakyat. Ini adalah model aksi yang mirip dengan pengajuan petisi, pernyataan sikap, atau konferensi pers di jaman sekarang.

2. Mapputane‘: hak untuk menyampaikan keberatan atau protes atas perintah-perintah yang memberatkan rakyat dengan menghadap raja. Jika itu menyangkut kelompok, maka mereka diwakili oleh kelompok kaumnya untuk menghadap raja, tetapi jika perseorangan, langsung menghadap raja. Ini model aksi yang mirip dengan metode negosiasi di jaman sekarang.

3. Mallimpo-ade’: protes yang dilancarkan kepada raja yang bertindak sewenang-wenang atau pejabat kerajaan lainnya. Biasanya, jalan ini ditempuh setelah metode Mapputane’ menemui kegagalan. Pelaku protes Mallimpo-ade’ tidak akan meninggalkan tempat protes sebelum permasalahannya selesai. Ini hampir mirip dengan model-model aksi pendudukan yang menginap berhari-hari bahkan berbulan-bulan di lokasi aksi.

4. Mabbarata, hak protes rakyat yang sifatnya lebih keras, yang biasanya dilakukan dengan berkumpul di balai pertemuan (barugae). Aksi protes ini biasanya akan meningkat menjadi perlawanan frontal (pemberontakan) andaikan raja tidak segera menyelesaikan tuntutan rakyat. Ini mirip dengan rapat akbar atau vergadering yang sudah dikenal sejak jaman pergerakan anti-kolonial.

5. Mallekke’ dapureng, aksi protes rakyat yang dilakukan dengan cara berpindah ke negeri lain. Hal ini dilakukan jikalau empat metode aksi di atas gagal menghentikan kesewenang-wenangan sang Raja. Ini mirip dengan gerakan protes sekarang yang disebut “suaka politik” ke negara lain.

Dengan melihat sekelumit sejarah di atas, adalah sangat naïf, bahkan memalukan, jikalau pemerintah sekarang alergi dengan aksi protes. Sebab, aksi protes bukanlah sesuatu yang buruk, justru dipandang perlu untuk “menyehatkan pemerintahan”.

***

KIRANYA, perca-perca contoh sederhana di atas bisa memberi gambaran betapa masyarakat telah lama memiliki tradisi untuk bersuara memberi masukan, kritik bahkan protes terhadap penguasa. Dan ruang atau sistem untuk itu juga tersedia.

Dalam dunia kreatif seni rupa, tradisi kritik, protes, atau pun perlawanan juga mendapat tempat. Kita bisa mencomot sedikit contoh untuk ditampilkan sebagi deret kecil representasi atas kecenderungan itu. Lukisan “Penaklukan Diponegoro” (1857) karya Raden Saleh Sjarief Boestaman adalah contoh legendaris betapa sang seniman sebagai nasionalis ingin memberi perlawanan kultural dengan memberi perspektif bandingan atas lukisan “Penyerahan Diri Diponegoro kepada Kapten De Kock” (1830) karya Nicolaas Pieneman.

Lebih dari seabad setelah itu, muncul karya serigrafi karya Hardi, “Presiden R.I. 2001” yang menjadi salah satu ikon Gerakan Seni Rupa Baru (GSRB) sekitar tahun 1974. Karya ini telah memberi sinyal tentang otoritarianisme Soeharto yang perlu dikritisi dengan munculnya para pemimpin baru. Sosok Hardi dalam karya tersebut seperti sebuah personifikasi masyarakat yang mulai butuh pemimpin alternatif yang tidak tiranik. Sinyal itu ternyata menemu pembenaran dalam realitas politik karena Soeharto baru jatuh 24 tahun setelah karya itu dibuat, yakni tahun 1998.

Dan dalam ranah seni rupa, salah satu penanda penting dari kejatuhan rezim Soeharto dua tahun sebelum pergantian milenium itu adalah kelahiran lukisan “Berburu Celeng” gubahan Djoko Pekik. Karya tersebut menjadi penanda, komentar, sekaligus kritik betapa kepemimpinan yang lalim telah dibiarkan bertahun-tahun lamanya berkuasa dan menghabiskan sekian banyak nilai-nilai mulia yang berkembang dalam perikehidupan berbangsa.

Kuratorial pameran ini kiranya mencoba menyoal perihal persoalan mendasar dari fungsi seni rupa selain sebagai ekspresi pribadi, yakni sebagai memiliki fungsi sosial dengan menggagas perkara sosial kemasyarakatan dalam cakupan yang lebih luas. Tajuk “Meta-Amuk” dihasratkan menjadi gambaran bagi seniman untuk mengurai persoalan tentang dunia dan tradisi kritik, protes, atau perlawanan sebagian yang melekat dalam budaya di Nusantara. Kata “meta” (melampaui) dan “amuk” (perilaku mengamuk untuk melakukan praktik kekerasan fisik) memberi semacam landasan bahwa karya-karya yang diharapkan lahir lewat tema ini telah melampaui masalah-masalah fisik, namun diandaikan begitu simbolik. Membincangkan sebuah perubahan kekuasaan, misalnya, tak harus digambarkan dengan darah, pedang terhunus, dan sebagainya.

 

Tema tersebut kiranya sangat relevan dengan kondisi sosial kemasyarakatan akhir-akhir ini yang hendak menjemput datangnya pemerintahan dan sosok pemimpin baru tahun depan. Ada sekian banyak kasus anarkhisme dan situasi khaotik/khaos (kacau), namun diharapkan justru akan melahirkan karya-karya yang mampu melampaui anarkhisme tersebut dalam penggambaran dan penyampaian lewat sistem representasinya. ***

Tim Kurator:

Kuss Indarto

Asikin Hasan

  1. CATATAN BAGI PESERTA PAMERAN
  • Calon peserta terdiri dari para perupa perorangan/kelompok dari berbagai  wilayah di Indonesia, berdasarkan proses seleksi tim kurator, serta undangan khusus dari pihak Galeri Nasional Indonesia.
  • Setiap calon peserta WAJIB MENDAFTARKAN DAN MENGISI FORMULIR yang disediakan panitia PALING LAMBAT tanggal 10 April 2013, melalui email pameran.nusantara2013@gmail.com

Alamat pengembalian Formulir Pendaftaran/ Kesediaan calon peserta adalah:

                Panitia Pameran Seni Rupa Nusantara 2013  Meta – Amuk”

Galeri Nasional Indonesia

Jl. Medan Merdeka Timur no.14 (depan Stasiun KA. Gambir), Jakarta Pusat – 10110

TEL/ FAX              : 021 – 34833954 / : 021 – 3813021

Email                     : pameran.nusantara2013@gmail.com

u.p.         Rizki Ayu Ramadhana (087829511404)

Zamrud Setya Negara (081314821331)

  • Setiap peserta WAJIB menyertakan keterangan CV/Biodata dan konsep karya dalam BAHASA INDONESIA sebagai DATA FILE (Word Document). Biodata terdiri dari : Data diri, alamat lengkap, prestasi, dan photo diri serta image karya yang akan dipamerkan (High Resolution).
  • Bagi Peserta yang belum melengkapi data guna keperluan cetak katalog pada waktu yang telah ditentukan panitia, maka panitia akan menggunakan data seadanya.
  1. CATATAN TENTANG KARYA               

                               

  • Pengerjaan dan penyiapan karya adalah tanggung jawab peserta
  • Karya yang diajukan untuk dipamerkan merupakan karya baru / lama yang dibuat dalam rentang waktu dari tahun 2011 hingga 2013, serta milik masing-masing peserta.
  • Karya yang dipamerkan merupakan hasil tanggapan, atau ada relevansinya terhadap tema

Meta – Amuk”

  • Karya berupa: Lukisan, Patung, Seni Cetak, Fotografi, Video Art, Object, Instalation Art, Kriya, Drawing.
  • Media dan teknik pembuatan karya tidak mengikat/ BEBAS.
  • Setiap peserta kengirimkan dua buah karya dalam bentuk image/foto ukuran 10 R (dikirim via pos) atau dalam bentuk soft data image resolusi minimal 500 kb dan maksimal 4 mb (dikirim via email) untuk bahan seleksi tim kurator.
  • Ukuran karya:   Karya 2 dimensi (minimal 1×1 m dan maksimal lebar 3x4m)

Karya 3 dimensi (minimal 50 cm3 dan maksimal 3 m3)

Karya instalasi (maksimal 3 m3)

Dengan diperbolehkan pilihan secara vertikal ataupun horizontal.

  • Pilihan Ukuran, materi dan bentuk karya yang bersifat khusus harus dibicarakan dengan pihak kurator.
  1. PENGEPAKAN DAN PENGIRIMAN KARYA
  • Pengepakkan dan pengiriman karya ke Galeri Nasional Indonesia (Jakarta) adalah tanggung jawab peserta pameran. (Bukti / Dokumen pengiriman harap disimpan, untuk mengantisipasi bila dimungkinkan tersedia biaya pengganti dari pihak panitia)
  • Masing-masing perserta disarankan menyiapkan kemasan bungkus atau kotak karya yang memadai  sehingga tidak akan mengakibatkan kerusakan karya saat proses pengiriman karya
  • Peserta wajib mengirimkan karyanya dalam kondisi finish siap pajang/display.
  • Bagi karya peserta yang menggunakan pigura, maka peserta WAJIB mengirimkan karyanya dalam kondisi SUDAH DIPIGURA (frame)/ finish.
  • Karya paling lambat diterima di Galeri Nasional Indonesia tanggal 30 April 2013
  • Alamat pengiriman karya:

(sama dengan Alamat pengembalian Formulir Pendaftaran/ Kesediaan calon peserta diatas)

  • Pengepakkan kembali dan pengiriman ulang karya kepada perupa/peserta adalah tanggung jawab pihak Galeri Nasional Indonesia.
  1. DISPLAY KARYA
  • Display karya adalah hak dan tanggung jawab kurator pameran dan Galeri Nasional Indonesia.
  • Pemasangan atau display karya yang bersifat khusus akan didiskusikan oleh kurator dengan pihak perupa/peserta yang bersangkutan.
  • Pengadaan alat yang digunakan untuk presentasi karya adalah tanggung jawab masing-masing peserta yang menggunakannya.
  1. PUBLIKASI
  • Galeri Nasional Indonesia akan memproduksi katalog pameran.
  • Publikasi kegiatan akan dilakukan melalui berbagai saluran promosi dan interaksi elektronik.
  • Undangan dan poster pameran akan diproduksi Galeri Nasional Indonesia.
  • Galeri Nasional Indonesia akan menyelenggarakan kegiatan press confeerence dan menyebarkan press release menjelang pelaksanaan kegiatan.
  1. RANGKAIAN KEGIATAN
  • Kegiatan pameran akan dilengkapi oleh rangkaian kegiatan : Temu Perupa Nasional

Hari / Tanggal                    : Kamis, 9 Mei 2013

Waktu                                    : pukul 10.00 WIB hingga selesai.

CATATAN : TENGGAT WAKTU PENTING (TIME FRAME)

  1. Pendaftaran Kesertaan Peserta Pameran,

Pengumpulan Biodata Seniman dan

Pengumpulan Image/photo karya, Proses berkarya             20 Maret – 10 April 2013

  1. Proses seleksi tim kurator                                                                  15 – 16 April 2013
  2. Pengumuman Karya/Peserta terpilih                                           17 April 2013
  3. Pengiriman Karya ke GNI                                                                   18 – 30 April 2013
  4. Display Karya                                                                                           3 – 7 Mei 2013
  5. Pembukaan Pameran                                                                           8 Mei 2013
  6. Pameran Seni Rupa Nusantara 2013 ”Meta – Amuk”        8 – 24 Mei 2013
  7. Pembongkaran Display Karya                                                          25 – 26 Mei 2013
  8. Pengembalian Karya pada Peserta                                                 29 Mei – 29 Juni 2013

1 Comment